Kaivan mengernyit saat melihat paperbag tergantung di pintu kamar kosnya. Ia menatap sekeliling yang telah sepi sebab hari sudah tengah malam. Setelah perdebatan di rumah, ia memang tidak langsung kembali ke kos. Melainkan menuju tempat lain untuk nongkrong dengan beberapa temannya.
Sebab yakin jika paperbag itu memang tertuju untuknya, Kaivan mengambil benda itu. Ia melihat isinya dan mendapati sebuah kotak makan dengan secarik kertas yang terselip. Lelaki itu membuka pintu kamar, kemudian masuk sembari membaca deretan kalimat pada kertas yang dipegangnya.
Dimakan ya, sayang. Semoga Ivan suka. Bunda minta maaf hari ini udah bikin Ivan sedih dan marah. Semoga Ivan bisa maafin Bunda.
Kaivan duduk di kursi dan meletakkan kotak makan di atas meja. Tak lama setelah membaca tulisan yang ia yakin dari bundanya, Kaivan meraih ponsel. Ia menyalakan paket data dan mendapati beberapa chat yang dikirim oleh ayah dan bundanya.
Kaivan hanya membaca sekilas. Semua chat itu hanya berisi kalimat yang terselip permintaan maaf. Ia mengabaikannya. Bahkan hal itu tak menyurutkan sedikit pun amarah yang ia punya. Sebab, Kaivan sudah paham betul urutannya. Mereka akan selalu meminta maaf, tapi tak lama kemudian pasti akan mengulanginya lagi.
Kaivan beralih mencari kontak seseorang, kemudian melakukan panggilan.
"Apa?"
"Udah tidur, Bang?"
"Masih nugas gue. Kenapa? Lo nggak bisa tidur? Sini aja ke kamar gue."
"Lo aja ke sini, gue ada makanan. Buat lo gih, gue udah kenyang."
"Gasss!"
Kaivan mematikan panggilan. Beberapa saat kemudian, seseorang membuka pintu kamar kosnya. Lelaki dengan kaus putih polos dan celana boxer itu masuk dengan membawa laptop beserta perangakatnya. Ia adalah kakak tingkat Kaivan yang paling dekat dengannya, meski baru saling mengenal kurang lebih satu tahun. Selain tergabung dalam beberapa organisasi kampus yang sama, kamar kos mereka juga bersebelahan. Frekuensi pertemuan yang sering dan komunikasi yang sejalan membuat mereka akhirnya bisa berteman dekat.
"Dasar budak skripsi!" cibir Kaivan sambil geleng-geleng kepala. Ia risi sendiri melihat Amar yang langsung duduk di kursi belajar. Tidak lupa memasang charger laptop sebelum berkencan dengan skripsi. Padahal masih memasuki waktu libur, tapi kakak tingkatnya itu sangat rajin, bahkan hanya menyempatkan sedikit waktu untuk pulang kampung.
"Ntar juga lo bakal ngerasain kalo udah jadi sesepuh kampus. Eh, btw ini makanan yang buat gue?" tanya Amar seraya mengangkat kotak makan dan menunjukkannya pada Kaivan.
"Iya."
"Oke, thanks, kebetulan lagi laper. Dari siapa nih? Gue sih tadi denger ada yang ngetok pintu kamar lo, tapi gue lagi boker. Pas gue keluar, udah nggak ada siapa-siapa."
"Setan kali," singkat Kaivan sebelum meraih handuk dan memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia sebenarnya tahu jika yang mengirim makanan itu pasti Zafran. Orang itu memang sering meninggalkan barang-barang di depan kamar kosnya. Dan Kaivan juga tahu, pasti kakaknya itu melakukan dengan sangat terpaksa karena disuruh oleh bundanya.
"Bocah gila. Tengah malem gini gak usah mandi!" teriak Amar ketika mendengar tanda-tanda jika Kaivan sedang mandi. Tapi akhirnya ia tak acuh dan memilih untuk mulai memakan makanan yang tampaknya sangat lezat. Sejenak, ia mengabaikan rentetan tulisan di layar laptopnya.
***
Kairav membuka mata, mengerjap pelan beberapa kali hingga pandangannya jelas. Ia menoleh ke samping dan mendapati sang kakak tengah tertidur lelap. Lelaki itu diam beberapa saat, berusaha mengumpulkan nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...