20-Tawa di Tengah Luka

4.6K 495 114
                                    

"Obatnya tetap rutin di minum, ya? Kalau ada keluhan sakit dan intensitasnya sering, langsung hubungi Dokter. Jangan ditunggu sampai parah, pokoknya kamu harus sadar sama kondisi kamu sendiri."

Kairav mengangguki segala wejangan Dokter Arya usai hasil check-up rutinnya keluar. Kondisi jantungnya tidak menunjukkan perkembangan baik, tapi setidaknya tidak menurun drastis juga. Kairav sudah ada di tahap pasrah, tak berharap banyak seperti sebelum-sebelumnya.

"Arav masih semangat, kan?" tanya Arya selagi memandang raut wajah Kairav yang tak secerah biasanya. Ia pun sebenarnya masih heran karena anak itu datang sendiri, biasanya selalu ada anggota keluarga yang menemani. Beberapa minggu belakangan, Arya menyadari perbedaan dalam diri Kairav. Ia juga seringkali membicarakannya bersama Zafran, mencari solusi agar Kairav bisa kembali semangat seperti dulu.

"Dok ... udah nggak bisa diapa-apain lagi ya sakitnya aku? Menurut Dokter, maksimal berapa lama lagi aku bisa bertahan tanpa donor?"

Mendengar pertanyaan itu, Arya sejenak terdiam. Dugaannya benar, Kairav sedang ada di tahap tak percaya diri. "Nggak tau ah, nggak pinter ngeramal. Dulu Dokter pernah ngomongin soal batas umur kamu, tapi nyatanya kamu bisa melampaui itu. Rahasia Tuhan itu, Rav."

"Salah nggak kalau aku capek? Pengin udahan. Hidupku nggak ada manfaatnya sama sekali, Dok."

"Capek itu manusiawi. Solusinya istirahat, bukan menyerah. Kalau kamu ngerasa hidupmu nggak bermanfaat, coba kamu inget orang-orang yang pernah kamu bikin ketawa. Banyak yang sayang sama kamu, Arav, jadi tolong bertahan ya?"

Sebanyak apa pun orang yang menyayanginya, tak membuat Kairav lupa begitu saja pada dosanya pada Kaivan. Sesering apa pun ia menciptakan tawa untuk orang lain, tak lantas membuatnya lupa bahwa ia telah membuat Kaivan memendam rasa sakit yang sangat dalam.

Kairav tak punya apa-apa lagi untuk dibicarakan dengan Arya. Ia akhirnya berpamitan, menolak saat dokternya itu menawarkan menelepon Rega untuk mengantar pulang. Ia bahkan tak acuh saat dokternya itu sebenarnya masih ingin mengajaknya bicara.

Kairav menuntun langkahnya tanpa tujuan pasti. Tapi tiba-tiba, ia terpikirkan sesuatu dan akhirnya membawa langkah menuju area IGD. Kairav melempar senyum pada beberapa perawat jaga yang sudah ia kenal dekat. Paling hanya beberapa yang belum ia kenal sebab merupakan staf baru atau mahasiswa magang. Ia berhenti di nurse station, memandang sekeliling yang cukup hening.

"Kok sepi, ya?"

"Sttt ...."

Kairav berkedip-kedip saat dua perawat jaga dengan kompak berdesis atas ucapannya. Sampai, ia akhirnya sadar dan sedikit tertawa. "Kalo aku yang ngomong nggak bakalan kejadian kan? Ya kan? Aku kan pengunjung, bukan staf medis," ucapnya tanpa rasa dosa. Lagipula, para tim IGD baginya ada-ada saja. Katanya ada kalimat keramat yang tidak boleh diucapkan saat IGD lengang, atau keadaan akan berbalik. Kairav sedikit tidak percaya.

"Eh, ada Arav. Habis kontrol, ya? Atau lagi nunggu Dokter Zafran selesai shift?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru datang dari arah kanan Kairav.

"Habis kontrol, Ners. Ini lagi pengin main aja ke sini, ketemu kakak-kakak cantik."

"Astaga, ada-ada aja. Tapi tuh maksudnya saya juga begini loh kalo mau main. Kamu mah seringnya kalo main ke sini dalam kondisi nggak sadar," ucap Ners Fatma selagi memasuki nurse station dan meletakkan beberapa perlengkapan medis yang tadi dibawanya.

Kairav tertawa ringan. Ia lantas kembali berfokus pada perawat di depannya yang tampak sibuk dengan komputer. Ada rasa ragu ingin bertanya, tapi ia akhirnya memberanikan diri.

"Kak Alysa ...," panggil Kairav dengan suara pelan, membuat perawat muda bernama Alysa itu seketika mengalihkan pandang padanya.

"Kenapa?"

The Good Bad Brother✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang