30-Tak Ingin Kehilangan

4.2K 430 102
                                    

Pram setengah berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan jantung yang terus berdegup kencang. Kabar buruk yang ia terima membuat pria itu langsung meninggalkan pekerjaan menuju rumah sakit. Perjalanan dari luar kota tak lantas membuatnya lelah, sebab yang ada dalam pikirannya hanya ia ingin segera melihat kondisi anak-anaknya.

Melihat figur putra sulungnya di ruang tunggu operasi, Pram segera mempercepat langkah. Zafran yang mendengar bunyi langkah kaki pun menoleh ke samping. Ia bangkit dari duduknya, menatap sang ayah dengan kesedihan yang seketika kembali membuncah.

"Kak ...." Pram dapat melihat gurat lelah, sedih, dan takut yang terpancar dari wajah Zafran. Melihat lelaki itu berkaca-kaca, Pram lekas menarik putranya ke dalam pelukan. Ia usap punggung Zafran, mencoba menguatkan sebab dirinya mulai mendengar isak tangis si putra sulung.

Pram tak pernah melihat Zafran sehancur ini. Dan hal itu jelas membuatnya sadar bahwa apa yang saat ini sedang terjadi, terlalu menyakitkan untuk dilalui. "Kuat, Kak. Ayah di sini, Ayah udah di sini," ucap Pram selagi masih mengusap-usap punggung Zafran.

"Maafin Kakak, Yah, Kakak nggak bisa jaga adik-adik." Zafran membiarkan dirinya benar-benar jatuh, tak sanggup lagi berpura-pura kuat. Segala ketakutan sedari tadi tak sedikitpun lepas mencengkeram dada.

"Bukan salah Kakak. Kakak nggak salah sama sekali, Kakak nggak perlu minta maaf." Pram mengajak Zafran untuk kembali duduk di kursi tunggu. Ia memberi waktu pada putranya untuk menenangkan diri dan ia pun masih terus memberikan afeksi positif pada putranya.

Pram menatap lampu depan ruang operasi yang masih menyala, tanda bahwa operasi masih berlangsung. Hati Pram seketika berdesir hebat. Sudah lama sejak kabar tentang Kaivan ia terima, tapi anaknya masih berjuang di dalam ruang operasi. Rasanya ingin sekali mengutuk diri yang tak bisa ada saat keluarganya membutuhkan kehadirannya.

Sepanjang jalan tadi, Pram tak henti berdoa untuk kedua anaknya. Ia tak sanggup jika mereka harus pergi meninggalkannya. Ia bahkan belum benar-benar mengusaikan perang dingin dengan Kaivan. Pram tak akan mampu berpisah dengan segudang penyesalan yang masih menggumpal di dalam dada.

"Kakak udah bisa cerita ke Ayah? Atau masih butuh waktu buat nenangin diri?" tanya Pram saat melihat Zafran tampak sudah bisa kembali menguasai diri.

Zafran menarik napas panjang, mengembuskannya dengan perlahan. Ia mengusap wajah, lantas sejenak menatap pintu ruang operasi yang masih tertutup rapat. Sedari tadi, ia pun menunggu dengan harap-harap cemas.

"Kayak yang tadi Kakak bilang, Yah, Ivan harus dioperasi karena pendarahan otak. Dia habis jatuh dari motor. Kakak nggak tau persisnya gimana, tapi kemungkinan kepalanya kebentur keras. Pendarahannya cukup luas dan Ivan butuh segera dioperasi. Maaf juga Kakak nggak sempat minta persetujuan Ayah dulu, Kakak takut Ivan terlambat dapat penanganan."

Pram mengangguk mengerti. "Justru Ayah terima kasih karena ada Kakak yang selalu tanggap. Pasti berat banget buat Kakak, harusnya tadi Ayah juga ada di sini."

Zafran menatap ayahnya dengan gurat sendu yang masih menetap di wajah tampan itu. "Yah ... Kakak nggak mau sembunyiin ini dari Ayah. Setelah operasi, mungkin kondisi Ivan nggak akan sama kayak sebelumnya. Kakak berharap Ivan bakal jalanin proses pemulihan dengan cepat. Tapi nggak menutup kemungkinan juga kalau Ivan bakal ngalamin efek samping. Beberapa fungsi tubuhnya mungkin jadi lebih lemah atau bahkan ada gangguan memori. Mungkin pasca-operasi nanti Ivan harus rutin terapi dan butuh waktu cukup lama buat pemulihan."

Pram mengangguk paham, berusaha tegar menerima meski hatinya semakin remuk redam. "Nggak papa, Kak. Asal Ivan masih sama kita, apa pun nanti risikonya kita hadapi sama-sama. Ayah bakal berusaha sebaik mungkin buat kalian."

The Good Bad Brother✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang