Kaivan merebahkan kepala di atas meja ketika otaknya tak mampu lagi berpikir. Buku-buku ia biarkan terbuka sementara layar laptopnya telah menghitam. Nyala AC di perpustakaan dan suasana mendung dari balik jendela kaca, membuat Kaivan betah berlama-lama di tempat ini. Meski tujuan awal adalah untuk mengerjakan tugas, tapi Kaivan hanya menghabiskan waktu untuk merenung.
Ingatan Kaivan dilempar kembali pada kejadian kemarin. Setelah Kairav mengusirnya pergi dari ruang rawat, Kaivan tak pernah lagi memunculkan diri di rumah sakit. Ia tidak tahu kenapa rasanya sangat aneh, padahal sejak dulu, ia sendiri yang menginginkan adiknya bisa hilang dari pandang.
"Gue nggak nemu lagi bukunya, Pan. Apa nyari di perpus pusat aja, yak?" Dicky yang sudah lelah mencari sumber referensi pun akhirnya duduk di sebelah Kaivan. Ia sedikit melongok Kaivan yang memunggunginya, takut jika sahabatnya itu malah tidur.
"Mau ujan, gue mager pindah tempat."
"Ya udah cepetan coba dikerjain! Lo ngapa kek galau mulu, habis putus cinta ha?" Dicky mendorong pelan bahu Kaivan dan berusaha membuat lelaki itu tidak malas-malasan seperti ini. "Buruan, njir! Bentar lagi tutup, lo jangan buang-buang waktu buat ngegalau! Ini tugasnya selesein dulu!"
Dengan gerakan malas, Kaivan menegakkan tubuhnya. Ia kembali menghidupkan laptop dan meraih buku yang dipenuhi tulisan memusingkan. Ketika mendapati layar ponselnya menyala, ia lebih dulu meraih benda itu. Beberapa pesan yang masuk, berhasil membuat Kaivan terpaku.
Ayah
Selesai kuliah jam brp?
Ayah jemput, sekalian mau ada yg Ayah omongin
Tolong luangin waktu kamu sebentarKaivan hanya mengamati pesan-pesan itu, ragu apakah harus membalasnya atau tidak. Ia juga sebenarnya sangat malas untuk bertemu ayahnya. Tapi Kaivan juga cukup sadar bahwa perang dingin ini akan terus berlanjut jika tiada yang sanggup menurunkan ego. Maka, dengan mengabaikan segala kekesalan yang masih tertinggal dalam hati, Kaivan menyetujui ajakan ayahnya.
Saya
Aku mau, tp ajak kakak***
Kaivan harusnya tak percaya sedari awal. Ia kira, ayahnya akan menuruti permintaan kecilnya untuk mengajak sang kakak. Namun, sampai ia berada di ruang kerja ayahnya, ia hanya mendapati pria itu sendirian.
Setelah selesai dengan kegiatan kampus beberapa waktu lalu, Kaivan langsung menuju kantor ayahnya. Ia menolak dijemput dan memilih untuk datang saja ke tempat yang ayahnya minta. Ia juga sudah mencoba menghubungi Zafran, tapi kakaknya itu tak membalas apa pun.
"Sini duduk, Ayah buatkan minum dulu," ucap Pram selagi menyeduh dua gelas teh hangat. Ia mengisyaratkan pada Kaivan untuk duduk di sofa hingga anak itu menurutinya.
"Kakak nggak disuruh ke sini?"
"Susah dihubungi, masih sibuk mungkin."
Kaivan berdecak kecil. Ia kadang heran dengan Zafran yang sangat sibuk dan begitu mencintai pekerjaan. Setiap kali ditanya, lelaki itu selalu menjawab jika dirinya masih butuh banyak jam terbang. Padahal berkerja tak kenal waktu pun hanya mendatangkan dampak buruk.
"Harusnya Ayah suruh dia jangan ngegas gitu kerjanya, dia masih muda. Waktu itu aku lihat dia sampe mimisan. Paling nggak Ayah peduli ke Kakak, dia udah banyak bantu Ayah," ucap Kaivan yang sebenarnya menyiratkan sebuah sindirian. Sejak mendengar cerita Zafran jika Pram juga sering memarahi sang kakak, Kaivan benar-benar kesal. Padahal kakaknya itu sudah banyak membantu orang tuanya sebagai seorang anak pertama.
Pram tersenyum kecil. Ia mendekat ke sofa membawa dua cangkir teh hangat yang kemudian ia letakkan di meja. Lantas, pria itu duduk di samping putra tengahnya. "Ayah udah sering ingetin, tapi kamu tau sendiri kan setekun apa kakak kamu itu kalo lagi belajar. Dia lagi nyari banyak bekal buat lanjutin pendidikan spesialis."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...