Kaivan bosan menunggu ketidakpastian, hingga akhirnya ia memilih untuk menuju ruang rawat Kairav. Sesekali netranya menyisir sekitar, mencari keberadaan kakaknya yang entah ada di mana. Ia sudah sangat bosan hanya untuk menunggu hasil pemeriksaan, tapi Zafran tak mengizinkannya pulang. Malah lelaki itu kini menghilang setelah memaksanya untuk tidak kemana-mana.
Kaivan beberapa kali mengerjapkan mata kala pandangannya terasa mengabur. Tak ada perubahan, ia pun mengusap-usap matanya. Ia rasa, ia butuh tidur untuk menormalkan kembali tubuhnya yang terasa aneh usai jatuh dari motor. Pusing di kepalanya pun tak kunjung hilang, kini malah semakin berdenyut tak karuan.
Sesampainya di ruangan Kairav, Kaivan segera membuka pintu. Ia melongok ke dalam dan mendapati adiknya yang tampak sudah tertidur. Sementara di sofa, bundanya masih terjaga.
"Bunda ...." Kaivan berjalan lunglai mendekati bundanya. Ia langsung membaringkan tubuh di sebelah Nayra, menjadikan pangkuan wanita itu sebagai tumpuan kepala.
Nayra jelas saja terkejut melihat anak tengahnya datang dengan beberapa bagian tubuh yang terbalut plester dan perban. "Ini kenapa, Van? Kamu habis berantem apa gimana?" tanya Nayra seraya mengusap pipi Kaivan yang tersemat plester kecil. "Coba bangun dulu, Bunda mau tanya."
"Nggak mau, kepalaku pusing banget. Pijitin bentar coba, Bun." Kaivan meraih tangan bundanya dan menuntunnya menuju kening yang sedari tadi terus berdenyut sakit.
"Jawab dulu, itu kamu kenapa bisa luka-luka?"
"Jatoh dari motor."
"Astaga, ada-ada aja sih! Kamu itu---"
"Udah, Bun, tadi aku udah diomelin habis-habisan sama Kakak. Bunda jangan nambahin dulu, yang ada aku makin pusing." Kaivan memejamkan mata, merasa-rasakan sensasi nyeri yang entah mengapa semakin menjadi-jadi. Padahal saat di rumah tadi, ia masih bisa menahannya.
"Pusing banget?" tanya Nayra kala melihat kening Kaivan yang mengerut dalam, seolah sedang menahan sakit yang teramat. Wajah anaknya pun kini tampak lebih pucat dan berkeringat. Nayra mengusap-usap kepala Kaivan, sesekali memijatnya dengan gerakan pelan. "Mau Bunda mintain obat?"
"Iya, Bun, tolong." Kaivan mau tak mau menyetujuinya. Sebenarnya ia paling benci dengan segala macam bentuk obat. Tapi sepertinya, ia membutuhkan barang itu untuk setidaknya mengurangi rasa sakit.
"Bunda coba tanyain ke Kakak dulu, tadi kamu ke sini sama Kakak?"
Kaivan mengangguk. "Tadi tuh disuruh periksa, tapi bosen nunggu hasilnya, jadinya aku ke sini."
Nayra mengambil bantal, menjadikan benda itu sebagai pengganti untuk menumpu kepala Kaivan. Ia meraih ponsel, lantas mencoba menghubungi Zafran. "Ivan udah makan belum?"
Kaivan menggeleng sembari memijat keningnya dengan kedua tangan.
"Tunggu sini, ya? Bunda coba tanyain obat pereda nyeri sama beliin makan buat kamu." Nayra hendak keluar ruangan, tapi lebih dulu memastikan Kairav yang sedang tidur di ranjang. Ia juga masih mencoba menghubungi Zafran sebab panggilannya tak kunjung diangkat.
Sepeninggal bundanya, Kaivan meringkuk di atas sofa sembari menahan sakit yang semakin kuat menghajar kepala. Peningkatan rasa nyeri itu benar-benar sangat drastis. Tak tahan, ia pun sesekali meringis dan mengerang. Kaivan mencengkeram kepalanya, bahkan menjambaki rambutnya berharap sakit itu akan berkurang.
"Arghh ...." Kaivan melampiaskan sakit dengan mencengkeram bantal kuat-kuat. Denyutan yang tak jua berhenti kini mulai meruntuhkan pertahanannya. Ia mulai menangis karena tak kuat dengan rasa sakitnya. Sungguh, Kaivan tak pernah merasakan sakit kepala sampai sehebat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...