Di antara semua momen dalam hidupnya, bisa menjadi saudara kembar Kaivan adalah hal bahagia untuk Kairav. Meski sejak kecil ia dibatasi dengan banyak larangan, ia tidak merasa sedih karena Kaivan ada bersamanya. Ia memiliki saudara yang bisa menemaninya setiap saat, sehingga Kairav tak perlu iri meski dirinya tak bisa seperti kebanyakan anak lain.
Namun hari ini, Kairav menyadari bahwa perasaan seperti itu hanya ia rasakan sendiri. Kaivan tidak pernah merasakan hal yang sama saat bersamanya, kembarannya itu justru harus menelan kepahitan. Kairav merasa dirinya begitu egois. Ia merasa buruk karena tak menyadarinya dari awal, bahwa Kaivan pergi untuk mencari kebahagiaan yang tak pernah didapatkan sejak bersamanya.
Di malam yang semakin larut, Kairav masih duduk di meja belajarnya. Ia menumpu kening dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang sebuah foto yang menampilkan potret dirinya dengan Kaivan. Di dalam sana, keduanya tampak sangat bahagia. Senyum mereka begitu lebar, sampai Kairav berpikir; apakah senyum Kaivan saat itu palsu? Apakah Kaivan terpaksa tersenyum meski sebenarnya tidak ingin? Apa kala itu Kaivan sedang diam-diam memendam kesedihan?
"Di semua tempat yang ada lo-nya, gue nggak pernah ngerasain bahagia!"
Ucapan Kaivan sore tadi kembali terlintas. Saling bersahutan dalam kepala Kairav layaknya video rusak yang memekakkan telinga. Setiap kata masih ia ingat dengan begitu jelas, meninggalkan kesedihan di hatinya yang belum juga terobati.
"Kesehatan jantung Arav semakin menurun. Berat untuk mengatakan ini, tapi Arav harus segera mendapatkan donor, sekarang hanya itu jalan efektif satu-satunya. Kita masih bisa menaikkan kualitas hidup dengan obat-obatan, tapi mungkin itu tidak akan bertahan lama. Kerusakan jantungnya sudah lebih dari 50%."
Tiba-tiba suara dokter kala itu terngiang. Hasil pemeriksaan terakhir yang berhasil membuat Kairav terpuruk, takut pada akhir hidup yang tak mampu ia ketahui kapan datangnya. Sampai, ia memiliki kembali harapan karena ingin berbaikan dengan Kaivan. Ia ingin tetap hidup dan membawa Kaivan kembali ke rumah untuk melakukan banyak hal bersama.
Tapi sekarang, harapan mana lagi yang harus Kairav pegang? Ia bahkan baru mengetahui jika ternyata Kaivan sengaja pergi untuk menjauhinya, karena selama ia masih ada, Kaivan tidak pernah bahagia. Lantas apakah ia harus pulang dalam kondisi seperti ini? Padahal ia hanya ingin berusaha, agar dapat menghabiskan waktu terakhir bersama keluarganya yang utuh.
Kairav menutup wajahnya dengan kedua tangan, perlahan mulai terisak. Ia tidak bisa menerima fakta bahwa hidupnya hanya menjadi penghalang kebahagiaan untuk Kaivan. Ia tidak menyangka bahwa yang sedang ia lakukan sekarang ternyata hanyalah hal egois jika dari sudut pandang Kaivan.
"Jahat, lo bener-bener jahat, Rav!" Kairav memukul dadanya sendiri, meski tahu hal itu tak dapat menebus semua kesalahannya. "Bodoh, lo harusnya peka! Lo harusnya sadar diri!"
"Arav ...." Zafran terkejut bukan main saat membuka pintu kamar adiknya, dan mendapati anak itu sedang menangis sembari menyakiti diri sendiri. Ia lekas berlari mendekat dengan penuh rasa khawatir.
"Udah, hey! Arav ... jangan begini." Zafran menyingkirkan tangan Kairav yang masih memukuli dada. Ia memeluk tubuh adiknya dari samping, membiarkan Kairav bersandar pada dirinya dan menangis semakin keras.
Entah apa yang sedang Kairav rasakan sampai bisa seperti ini. Tadi, ayahnya bercerita jika Kairav sempat kambuh saat dijemput di kampus. Maka dari itu, Zafran langsung ke kamar Kairav untuk mengecek kondisinya. Ia pikir, adiknya itu sudah tidur dengan lelap. Namun, keadaan yang ada justru lebih kacau dari yang ia kira.
"Kamu kenapa? Dadanya sakit? Atau ada masalah apa?" Zafran mengusap pipi Kairav yang berbanjir air mata. Ia paling tidak suka jika Kairav sudah menangis seperti ini. Adiknya itu memang gampang menangis, tapi tidak akan sampai separah ini mau sesulit apa pun keadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...