Dari detik pertama hingga ia menangis selama satu jam, tangisan sedih itu akhirnya terhenti oleh janji yang diberikan kepadanya. Seorang pria yang tak lain adalah ayahnya sambil tersenyum menenangkan.
"Kami akan mencarikanmu saudara nanti. Yang paling penting sekarang adalah kamu mengenakan gaun ini dan menyapa semua temanmu di luar, oke?"
Sukses
Kepala yang awalnya terus menggeleng berubah menjadi anggukan pelan, dan senyuman manis sedikit melebar. "Oke, Papa."
Sementara itu, wanita berpakaian anggun di sebelah pria itu hanya menghela napas berat. "Putrimu," katanya sambil meninggalkan ruangan untuk menyambut para tamu yang sudah satu jam diabaikan untuk membujuk putrinya yang sedang mengamuk.
"Kenapa lagi Aurora?" Seorang wanita dengan riasan tipis memegang secangkir teh panas dan mengangkat dagunya saat dia bertanya. "Tunggu sebentar, biar kutebak. Minta kakak?" lanjutnya yang disusul dengan tawa pelan.
Orang yang ditanyai segera menghela napas lalu mengangguk. "Permintaan itu tidak berdasar. Aku mulai pusing!"
"Sabar, anak-anak selalu punya keinginan yang eksentrik," dia menghiburnya sambil membelai lembut bahu Sabrina, ibu dari Aurora.
"Tapi anakku berbeda dari yang lain, Kar. Tentu saja aku tidak boleh gegabah," sela Sabrina frustasi.
Karisa; teman Sabrina sekaligus satu alumni saat SMA, keduanya kini berusia 36 tahun. Masing-masing sudah menikah dan Karisa sendiri memiliki dua orang anak.
Setelah acara selesai, kita akan pergi ke panti asuhan," bisik suami Sabrina dari samping lalu bergabung dengan rombongan sambil menggendong Aurora.
"Untuk apa?" Sabrina bertanya.
Rajendra kemudian melihat ke belakang. "Tambah anak."
***
Panti Asuhan Cemara
Suara mesin mobil berhenti tepat di tempat parkir. Sabrina kalah telak karena pertengkaran saat melarang suaminya datang ke sini.
"Apakah kamu benar-benar ingin Aurora sakit karena kita tidak menuruti permintaannya?"
"Gak gitu, Mas. Ibu mana yang rela liat anaknya sakit, tapi keputusan kamu juga gak bener!"
"Ada apa denganmu?! Saya juga orang yang membiayai anak itu. Kamu hanya perlu menerima kehadirannya."
"Justru itulah yang membuatku menolak rencana gilamu untuk mengadopsi anak." Nafas Sabrina mulai tak terkendali.
"Demi kebaikan Aurora," ucap Rajendra sekali lagi. Sabrina dengan kasar melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.
"Hore Ara punya Abang! Terima kasih Papa!" Aurora bersorak gembira dan melompat kegirangan.
Rajendra tersenyum tipis lalu mengusap kepala Aurora. "Apapun untuk putriku.
Langkah pertama adalah menemui ibu panti asuhan dan menjelaskan kedatanganmu disana. Sabrina sebenarnya tidak ingin masuk, tetapi ia tidak punya pilihan selain duduk di teras dan menggerutu pelan pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Teen FictionFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...