Tidak dapat di katakan sebagai manusia seutuhnya jika dalam dirinya sama sekali tak terbesit rasa penasaran di setiap apapun yang mereka lihat, rasakan juga bayangkan.
Sebagai contoh adalah sosok Jevan yang saat ini dibuat penasaran oleh sesuatu yang mengganggu pemandangannya. Lilitan perban itu sesekali terlihat diantara lebatnya rambut hitam pekat Raza yang mulai memanjang.
Mau sekeras apapun dia memaksa agar sahabatnya berkata jujur, tetap saja jawabannya pun sama. Akan dikatakan bahwa terjatuh karena tergelincir lantai yang licin.
Menyangkal pengakuan tersebut tidak menguatkan firasatnya dan mengatakan seolah, luka itu terjadi karena di sengaja. Lirikan mata tajam seperti tengah menginterogasi lawan, membuat teman-teman lainnya menyenggol lengan Jevan untuk tidak bersikap berlebihan.
"Dia udah ngaku, ingat selalu bahwa musibah tidak pandang waktu sekalipun itu orang yang terkenal berhati-hati dalam melakukan sesuatu." Haidar berserta kalimat bijaknya memukul mundur niatan Jevan untuk bertanya lebih jauh lagi.
"Dengan kata “peduli” tanda kutip, bukan berarti lo berhak tahu semua tentang dia. Kalaupun ada masalah keluarga, cukup tahu dan gak perlu tanya-tanya, karena itu bisa jadi bikin si doi risi."
"Bener. Gue setuju sama pendapat Haidar. Jev, kita semua satu firasat kalau Raza itu bohong. Dia bukan jatuh karena tergelincir tapi di dorong," tambah Galih dengan wajah serius.
"Kami memang terbilang baru buat temanan sama kalian tapi rumor tentang keluarga Sanskara, gue udah tahu sejak lama kalau---"
"Bangsat! Gue tahu siapa otak pelaku semua ini," potong Jevan sambil menggebrak meja.
"Kalem bro, gak usah gebrak meja juga. Kasihan anak orang, sawan," ucap Zayyan sambil menunjuk salah satu meja kantin. Seorang siswi sedang mengelus dada kaget.
"Iya bener. Jawabannya mereka berdua, kakek dan nenek which is orang tua om Rajendra."
Belum sempat obrolan seru itu selesai, kedatangan Raza seusai memesan makanan terpaksa mereka ganti topik dengan obrolan yang terdengar begitu konyol. Sama sekali tidak berkesinambungan antara satu sama lain.
Raza diberi tempat duduk di bagian tengah, meskipun sedikit ragu siswa tersebut tetap patuh dan menempati posisi yang sudah disediakan oleh teman-temannya.
"Lukanya udah di tangani sama dokter?" tanya Ashira. Penetral dari semua orang yang merongrong ingin Raza buka suara sejujur-jujurnya.
Cowok itu mengangguk. Menceritakan juga alasan dibalik terlambatnya dia datang ke sekolah. Dari situlah mereka menarik kesimpulan bahwa Rajendra tetap bertanggungjawab atas apa yang menimpa Raza.
"Diwaktu kejadian, siapa aja yang nolongin lo?" tambah Ashira mengangguk ketika Raza bercerita.
"Bi Sani. Karena diwaktu itu cuma ada aku sama beliau," aku Raza.
"Parah engga Za? Maksud gue, lukanya cukup serius?" celetuk Zayyan, dia sendiri pun penasaran.
"Sedikit serius. Kepalaku kena bagian sudut meja yang lancip," kekeh Raza.
"Bodoh! Udah tahu lantai masih licin, jadi jatuh kan?!" sewot Jevan kesal. Di saat semua sudah tahu kepalsuannya dalam bercerita masih saja mencoba menutupi kebusukan keluarga Sanskara.
Soraya berdecak sambil memukul paha Jevan untuk tidak berkata kasar seperti itu.
"Hehe iya maaf. Lain kali bakalan jauh lebih hati-hati," kata Raza tersenyum damai.
"Cuma lo doang Za, orang paling tenang ngadepin mulut pedesnya Jevan," ujar Galih takjub. Bisa-bisanya Raza tidak tersinggung dikatai bodoh, mungkin jika digantikan oleh yang lain akan mengamuk atau ganti mengolok.
![](https://img.wattpad.com/cover/363362759-288-k774851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Подростковая литератураFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...