Tepukan pada pundak mengalihkan perhatian Raza dari layar ponsel. Dia menoleh sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ekspresi tegang itu belum sepenuhnya hilang sehingga menimbulkan pertanyaan di benak Ashira yang tadinya berniat untuk menegur.
"Maaf kalo kesannya ngagetin. Tapi kenapa tegang begitu?" ucap Ashira sembari menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga.
Raza tidak segera menjawab. Dia diam sebentar untuk selanjutnya menggeleng pelan. "Gapapa. Aku baru dapat pesan dari Mama." Raza menipiskan bibir tersenyum usai menanggapi pertanyaan Ashira.
"Soal apa?"
"Kakek dan nenek bakalan menginap. Aku cuma ngerasa sedikit gugup."
Ashira mengangguk paham. Apalagi kalau status Raza adalah anak angkat, tentu saja itu hal paling menegangkan berada di lingkungan baru.
"Santai aja. Gue jadi penasaran sama mereka," ungkap Ashira. Melihat Rajendra dan Sabrina adalah sosok orang tua penuh dengan sikap ramah, tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian besar keluarga mereka pun sama.
"Mereka memperlakukan lo dengan baik, kan?" celetuk Soraya dari arah belakang. Mata sipitnya ikut menyipit saat menunggu jawaban keluar dari bibir Raza.
"Tentu saja. Mereka sangat baik padaku," kata Raza tanpa membuat mereka curiga.
"Ya elah. Siapa coba yang gak seneng punya cucu modelan Raza. Pinter, ganteng, soleh lagi." Zayyan datang setelah membersihkan diri.
Galih bersin mendengarnya. "Gue curiga. Lo lebih doyan biji ya, Yan?" tuduh Galih dengan ekspresi jijik.
"Pala lo gue bijiin. Gue normal!" ketus Zayyan.
"Kok puji-puji Raza begitu. Serem deh. Jauh-jauh lo dari gue," kata Galih mendorong punggung Zayyan.
Mereka berdua terus berdebat sengit. Sudah tidak baru lagi bagi mereka teman sekelas yang setiap harinya melihat perdebatan kecil antara keduanya.
Disusul Jevan memasuki kelas sambil bersiul. Seragam basah itu dia masukkan ke dalam plastik hitam yang di tenteng kemudian di lempar tepat mendarat di atas meja miliknya.
"Bahagia bener gue liat. Jauh beda sama yang di sebelah gue. Bawaannya tertekan terus," singgung Soraya kepada Jevan.
"Hah, maksudnya?" Jevan setengah tidak paham akan perkataan Soraya. Lalu dari ekor mata, dia melirik Raza sedang terdiam menatap luar jendela. Tidak menyapanya.
Jevan berjalan mendekat sambil menarik kursi untuk diduduki. Dengan gerakan cepat, dia keluarkan selembar uang berwarna merah dan menodongkan di depan wajah Raza.
"Uang lo abis? Nih, jajan pake uang gue. Gak usah galau apalagi di ganti." Begitulah prasangka Jevan ketika mendapati Raza yang terus diam.
"Uangku masih utuh, gak minat jajan."
Raza mendorong pelan todongan uang tersebut dan menatap Jevan sekilas. "Ngantuk. Minggir," imbuhnya mengusir Jevan terang-terangan.
"Gak usah sok jadi manusia paling aneh deh hari ini. Lo kenapa sih, jangan bikin kita-kita ini kepikiran." Jevan mengerutkan keningnya sambil menatap sebal ke arah Raza.
"Aneh gimana. Kalian itu yang aneh. Orang aku gapapa, kok."
Semua saling lempar pandang usai mendengar Raza berkata demikian. Sedangkan cowok tadi, dia sudah menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan.
Maaf teman-teman. Kalau hal ini aku ceritakan. Pasti akan membuat kalian benci kepada mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Ficção AdolescenteFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...