Raza terus mengucapkan serangkaian kalimat penyesalan sambil berlutut di hadapan ayah angkatnya. Karena kekacauan yang ia timbulkan, pertengkaran yang belum pernah terjadi sebelumnya menyebabkan kemarahan Sabrina tak terkendali.
“Bangun, Nak, bangun. Kamu tidak salah. Ini hanya pertengkaran antara aku dan istriku.” Rajendra memaksa Raza bangun, anak itu menangis. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia merasa sangat bersalah. Kemudian Rajendra menatap Aurora yang menangis histeris di samping Raza. “Masuk ke kamar.”
Raza berjalan ragu-ragu menuju kamar sambil menggendong Aurora, dan telinga Raza dengan jelas mendengar suara sepatu mokasin yang berjalan menaiki tangga.
“Abang, Ara takut…”Raza meremas lengannya lebih erat dan membisikkan sesuatu untuk menenangkan Aurora. Sementara itu, di seberang ruangan, Rajendra membalas tatapan Sabrina.
Wanita itu menatap nyalang saat Rajendra ingin berbicara dengannya. “Aurora menangis dan itu gara-gara kamu, Sabrina!” ucap Rajendra dengan suara tertahan. “Pokoknya, ini terakhir kalinya kita membicarakan kehadiran Raza. Jika kamh masih bersikeras untuk bersikap acuh tak acuh, terserah. Aku tidak peduli jika kita bercerai!”
Detak kantung Sabrina tiba-tiba berhenti bekerja. Kata-kata suaminya sangat kuat. Tidak biasanya jika mereka bertengkar Sabrina selalu memenangkan perdebatan.
Kini berbalik dan lebih memilih memiliki anak dibandingkan istrinya yang keras kepala. Matanya yang tajam menjadi memburam. Sabrina terus menggelengkan kepalanya, tak percaya Rajendra benar-benar serius.
“Kamu lebih milih anak pungut itu dibandingkan aku? Kamu waras?!”
“Aku lelah, Sabrina, lelah! Kamu terlalu egois dan bahkan anak sendiri pun kamu gak bisa memahaminya. Aurora hanya butuh sosok kakak laki-laki, bukan ibu pengganti. Kenapa kamu tidak bisa menerima Sabrina, KENAPA?!”Suara Rajendra menggema di ruangan kedap suara. Sabrina bahkan memejamkan mata dan menutup telinganya.
Ini adalah pertama kalinya suaminya marah dan membentaknya. Nafas Rajendra tak beraturan, dadanya naik turun tak menentu. Suara gemeretak gigi memperjelas bahwa dia sekarang sangat emosi.
“Tidak bisakah kamu memahami situasinya?” dalam sekejap, nada suara Rajendra berubah 180 derajat saat dia menatap Sabrina dengan sedih. Ia lelah menghadapi semuanya di rumah ini.
“Aku cemburu, aku iri karena kamu lebih memperhatikan anak ini daripada aku. Raza mencuri semua cintamu dariku, aku benci dia, aku tidak suka dia ada di rumah kita!” Sabrina menangis. Dia ambruk ke sisi tempat tidur dan menelungkupkan kepalanya ke dalam. Jantungnya berdegup kencang saat Rajendra meninggikan suaranya.
Hening
Baik Rajendra maupun Sabrina tidak bersuara. Ruang tamu juga sepi karena para pembantu telah berada di paviliun belakang rumah.
“Maafkan aku… aku menyakiti perasaanmu, Sabrina.” Rajendra duduk lemas di hadapan istrinya, lalu ia menarik Sabrina ke arahnya dan memeluknya erat. Sabrina menangis tersedu-sedu di pelukan suaminya. Pikiran yang selama ini ia pendam akhirnya terungkap. Salah satu alasan utama Sabrina membenci kehadiran Raza di keluarganya.
"Aku takut, aku takut kamu memilih anak itu daripada aku," bisik Sabrina di sela-sela isak tangisnya. Rajendra mencium kepala Sabrina cukup lama dan kembali memeluknya lebih erat.
“Itu tidak akan pernah terjadi. Kamu dan Raza menempati posisi berbeda. Kamu adalah istriku dan Raza anakku. Bukankah itu impianmu untuk mempunyai anak laki-laki? Tuhan mengabulkannya. Tidakkah kamu ingin bersyukur untuk itu?”
Sabrina terdiam dan suara tangisnya pun terhenti, hanya menyisakan cegukan akibat terlalu banyak menangis.
“Kehadirannya adalah anugerah terindah dari Tuhan. Hadiah yang paling berharga. Hidupnya sangat menderita, termasuk kehilangan kasih sayang orang tuanya.”Rajendra mengusap dahi Sabrina yang berkeringat dan menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya.“Bayangkan jika anak kita ada di posisi Raza. Apakah kamu tega mengabaikannya?”Disini Sabrina semakin dibungkam. Perkataan suaminya tidak terbantahkan, semuanya benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Teen FictionFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...