Bak pidana tengah di hakimi, duduk menunduk sampai satu jam hanya mendengarkan orang-orang disekitarnya berbicara dengan sesekali melempar sebuah candaan, tidak serta-merta membuat Raza ikut hanyut dalam suasana.
Dia ... terlalu takut untuk bicara.
Meskipun sudah satu tahun resmi menjadi bagian keluarga Sanskara, selama itu juga Raza belum bertemu dengan anggota keluarga yang lain.
"Hei, Nak. Kamu kenapa diam saja?" tegur salah seorang saudara laki-laki pihak Rajendra yang duduk tepat di hadapan Raza.
Tentu saja hal tersebut membuat atensi seisi ruangan tertuju padanya. Raza perlahan mendongakkan kepala sembari tersenyum canggung.
"Astaga, tampan sekali!" pekik seorang wanita dari depan. Kemudian berjalan tergesa, menarik tangan Sabrina untuk berpindah tempat sebentar, karena dirinya ingin duduk berdampingan dengan Raza.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Nama saya Raza, Tante." Cowok itu terkekeh lirih saat tangan wanita di sampingnya terus mencolek pipinya.
"Udah tinggi, kulitnya putih pol, ganteng lagi. Cocok jadi mantuku ini mah!"
Semua tertawa mendengarnya, disinilah Raza mengetahui satu fakta bahwa, wanita di sampingnya adalah adik kandung Rajendra dan paling humoris diantara yang lain.
"Jangan gila kamu, Raza itu anakku," sanggah Sabrina meski tahu adik iparnya hanya bergurau.
Ineke, wanita itu tertawa renyah melihat ekspresi wajah kakak iparnya. Kemudian beralih menatap Raza yang terus melempar senyum kepadanya.
"Saya baru ada kesempatan untuk pulang ke rumah ini, sekaligus memperkenalkan Raza kepada kalian semua," cetus Rajendra yang sedang duduk dengan kakak sulungnya.
"Halah basi. Aslinya Mas Jendra itu banyak waktu, tapi tersita sama pekerjaannya," potong Ineke menatap sinis ke arah Rajendra.
Pria berusia 43 tahun itu tertawa pelan sambil mengangguk, tidak menampik bahwa ucapan Ineke itu salah. Semuanya memang benar.
"Kayak gak tau Mas kamu aja, Ke. Dia itu gila kerja," timpal Sabrina dengan memangku Aurora, bocah itu sedang tidak enak badan.
"Bukan gitu. Kalo pulang ke rumah ini, tanpa penambahan cuti, mana puas. Belum lagi Aurora dan Raza harus sekolah, kalau sudah libur panjang, juga kantor mengadakan cuti bersama, saya tidak perlu repot-repot banyak membagi waktu," jelas Rajendra.
"Itu benar. Rajendra itu adik laki-lakiku yang paling semangat bekerja," tambah Ruslan, kakak tertua di keluarga Sanskara yang kini sudah berusia 50 tahun. Bahkan wajah keduanya memiliki kemiripan 99,5% sehingga sedari kecil mereka selalu dianggap anak kembar.
Mendapat pembelaan dari Ruslan, garis bibir ditarik ke samping membuat lengkung senyum miring tercetak jelas. Ineke berdecih tidak peduli. Yang pasti, Rajendra adalah kakak paling tega karena jarang sekali pulang menengok kedua orang tua mereka.
Kembali pada Aurora yang sedang tidak sehat, dia terus merengek dan mencari-cari posisi nyaman saat berada dalam gendongan ibunya. Sabrina yang sudah sangat kelelahan, melempar tugas kepada suaminya untuk menggantikan sementara.
Raza membantu ibunya untuk menyiapkan makanan, karena sedari tadi Sabrina mengasingkan diri demi menenangkan Aurora yang terus menangis.
Melihat di meja makan sudah tersaji sepiring berisi lauk, tanpa pikir panjang Sabrina langsung duduk dan menyantapnya dengan sangat lahap. Pelakunya sudah tidak perlu ditanya, pasti putra sulungnya.
Anak laki-laki itu kini tengah berada di halaman belakang rumah, menemani kakek yang sedang menikmati semilir angin sepoi-sepoi di sana.
Meskipun terasa begitu canggung, karena sedari awal dia datang, kakek sama sekali tidak berbicara kepadanya apalagi menatapnya walau sekilas. Pria lanjut usia itu nampak enggan bercengkerama dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Ficção AdolescenteFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...