Sabrina berharap putri kesayangannya bisa menekuni balet. Gadis kecil itu menyukai menari sejak dia berusia tiga tahun dan bercita-cita menjadi seorang penari. Tak sendiri, tapi ditemani Karisa. Wanita yang menghibur Sabrina di masa lalu ketika dia frustrasi dengan permintaan aneh Aurora, yang akhirnya dia penuhi.
"Aku lihat Ara lebih tenang," kata Karisa yang duduk di samping Sabrina dan keduanya menyaksikan pelatih balet melatih anak-anak mereka. "Apakah kamu benar-benar melakukan pencarian anak angkat?" tambahnya melengkapi rasa penasaran di benaknya.
"Ya," jawab Sabrina.
Karisa membuka mulutnya lebar-lebar. Tak terpikir oleh mereka bahwa Rajendra dan Sabrina begitu nekat mencari anak baru, yang tentu saja asal usulnya tidak jelas. "Di mana anak itu?" Karisa bertanya lagi.
"Kenapa terus bertanya?" Sabrina berkata sedikit kesal. Anak laki-laki itu selalu menjadi topik perbincangan saat Raza tidak ada?
"Aneh, bukan?"
"Tidak. Diam, jangan bicara padaku."
Karisa mengerucutkan bibirnya lalu menuruti perintah temannya untuk diam. Kini mereka berdua fokus menonton anak-anak berlatih balet. Aurora sesekali menyapa ibunya dan mendapat senyuman bahagia sebagai balasannya. Semangatnya semakin bertambah ketika Sabrina menyemangatinya untuk terus berusaha.
"Semangat anak mama!"
Di sisi lain, Karisa juga menyemangati putrinya yang setahun lebih tua dari Aurora. Hanya saja hubungannya tidak terlalu dekat. Di sini pun kebanyakan anak kecil.
Latihan balet dimulai dari jam delapan pagi sampai sebelas siang. Dan selama ini Sabrina tidak meninggalkan Aurora berlatih sendirian tanpa dukungan. Saat istirahat tiba, aurora makan siang yang disiapkan ibunya. Kepala Aurora bergerak maju mundur dan pipinya menggembung lucu saat ia makan. Sesekali Sabrina mengabadikannya dan membagikannya di media sosial pribadinya.
"Mama, bisakah kita menjemput Abang---"
"Ara, jangan mulai! Cepat habiskan makanannya!" tegur Sabrina dengan cepat memotong perkataan putrinya.
"Iya Mama," kata Aurora pelan.
Sabrina yang awalnya tidak kesal, tiba-tiba menjadi kesal. Kali ini dia tidak akan kalah dari putrinya sendiri. Selain itu, sekitar jam tiga sore Raza pulang sekolah. Akan sangat membosankan menunggu setelah pukul sebelas hanya demi anak itu. Kali ini lebih baik dihabiskan dengan berbelanja di mall.
***
"Aku?"
Soraya mengangguk tegas. "Ya. Kenapa, lo gak mau?" katanya.
Raza mundur selangkah lalu menggelengkan kepalanya perlahan. "Malu Sor," kata Raza
"Beli benda kayak gitu. Aku laki-laki, kamu gila," lanjutnya.
"Ya, anggap aja gue gila. Tapi tolong bantu gue sekali ini aja."
Karena ekspresi Soraya terlalu sedih dan Raza adalah orang tidak bisa menolak, dia mau tidak mau pergi ke koperasi untuk membeli barang tersebut.
Soraya sendiri yang semakin bertambah. Ketika Raza sampai di depan koperasi, dia mulai menetralkan ekspresinya sambil menghadap dinding."Ada apa, Kak?" tanya seorang siswi yang menjaga koperasi dengan ramah. Kebetulan adik kelas Raza.
"Kira-kira mana yang paling bagus?" Raza mengatakan ini sambil menunjukkan layar ponsel hasil pencarian google. Penjaga koperasi itu tertegun pada saat melihat apa yang ditunjukkan olehnya.
"Oh, pembalut. Tunggu sebentar, Kak," katanya lalu pergi ke lemari dan mengambil sesuatu, yang kemudian disimpannya dalam plastik hitam. "Ini, Kak."
Raza mendatanginya dan memberinya uang. Setelah dia selesai berbicara, dia berlari ke kamar kecil wanita. Soraya bilang dia berada di bilik toilet pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Roman pour AdolescentsFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...