Setelah menghabiskan lebih dari sepuluh menit di teras menunggu hujan reda, Raza menemani ketiga temannya, duduk disana dan membawakan sisa makanan di ruang tamu. Jevan satu-satunya anak yang tak bisa tinggal diam. Dia terus berjalan bolak-balik sampai matanya lelah.
"Lo ngapain sih anjir?!" Soraya menegur karena merasa terganggu melihatnya. Jevan menoleh dan membuang muka dengan sinis.
"Nunggu hujan, apalagi?" sahut Jevan.
"Hei, emang hujan bakal reda lebih cepat dengan lo mondar-mandir kayak itu?" kata Soraya. "Orang kok unik," tambahnya.
Raza menyela,"Duduklah daripada jalan-jalan gak jelas, Jev. Ini teh hangatnya," dia memandang kursi kosong di sebelahnya.
"Gak bosan baca buku terus, Shir?" Soraya memandangnya. Ashira dengan dunianya. Gadis itu mengangguk dengan cepat.
"Ini bagian favorit gue," jawab Ashira sambil tersenyum tipis dan menunduk untuk melanjutkan membaca bukunya.
Nasihat dari telinga kanan keluar dari kiri yang awalnya diabaikan Jevan perlahan mengubah cara pandangnya. Kaki anak laki-laki itu kesemutan dan akhirnya dia memutuskan untuk duduk.
Genangan air mulai naik, menutupi tepian halaman yang berumput. Hal ini menandakan hujan yang turun sangat deras dan kemungkinan besar membutuhkan waktu lama untuk mereda.
Saat ini hari sudah hampir menjelang malam, ketika tugas pertama hampir selesai, hujan turun sangat deras.
"Jangan bermain-main dengan ponselmu. Takut ada petir menyambar tiba-tiba, berbahaya. Raza menoleh saat Jevan mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya dan hendak bermain game untuk menghilangkan rasa bosannya.
Seperti yang sudah terjadi, Jevan adalah anak yang tidak suka diberi nasihat. Saat ini bukan hanya Raza saja yang menatap ke arah Jevan, melainkan dua orang gadis yang duduk bersebelahan yang dipisahkan oleh sebuah meja.
"Udah cukup, Za. Lo gak perlu beri dia nasihat, percuma. Itu bakalan diabaikan lagi," kata Soraya pada Raza yang mencoba mengingatkan Jevan akan hal ini.
Ashira bisa melihat dengan jelas cahaya putih yang berasal dari ekor mata kirinya. Hal ini membuatnya melompat dan menutup telinganya sambil melihat ke bawah.
"Kenap---"
DUAR ...!
"ARGH...!"
Di saat yang sama ponsel Jevan terjatuh, pertanyaan Soraya terhenti, Raza menggeleng lemah dan menatap ke arah Jevan.
"Kan, apa gue bilang. Ngeyel!" omel Soraya. Hatinya ikut deg-degan karena suara petir yang baru saja menyambar. "Batu sih."
Jevan mengerutkan kening, dia mendengus sebal lalu menghela nafas sambil mengangkat ponselnya yang terjatuh ke lantai. Untungnya, tidak kenapa-napa.
"Gue lihat kilatan petir tadi, makanya tiba-tiba tutup telinga," jelas Ashira tanpa diminta Soraya.
"Owalah, gue heran tadi sebenarnya lo kenapa," kata Soraya mengakui.
"Kenapa lo gak bilang, Pu?!" protes Jevan dari kursi yang bersebelahan dengan Raza.
"Si goblok, mana Ashira tau kalo lo main hp?" timpal Soraya yang sangat jengkel dengan kelakuan Jevan itu.
"Udah woi gak usah berantem. Gak enak kalo sampai kedengaran sama Tante Sabrina," lerai Ashira dan itu berhasil karena dua manusia tadi berhenti berdebat.
"Apa, liat-liat?! Minta di colok, huh?!" sarkas Soraya saat Jevan menatapnya tajam.
"Dasar cewek aneh!" ucap Jevan sambil bergidik geli.

KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Fiksi RemajaFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...