Lima belas menit berlalu, Jevan bersama dua teman lainnya datang memasuki kelas. Ekspresinya begitu datar, diikuti gerakan bibir menggerutu usai menjalankan hukuman. Uang sebanyak tiga ratus ribu yang dia berikan kepada tukang kebun, ditarik kembali dan disimpan.
"Udah, gak usah ngamuk-ngamuk," ucap Haidar datang duduk di bangku sebelah Jevan.
"Ngasih hukuman gak ngotak. Gue capek banget, anjir!" tukas Jevan.
Zayyan dan Galih berjalan menuju ruang belakang lalu merebahkan diri di sana, mencari kesejukan dari lantai keramik. Mereka merasa gerah akibat berkeliling membersihkan sampah di lapangan dan sekitarnya.
"Capek banget gila!" seru Zayyan menatap langit-langit ruang kelas.
"Gak akan lagi gue lewat jalan itu," timpal Galih.
Soraya lantas bertanya, "Jalan? Memangnya ada alternatif lain selain jalan raya?"
"Ada. Jalan lahan baru yang katanya lebih mempersingkat waktu, tapi sialnya kami malah ketemu sama orang gila. Dasi dan topi kami jadi sasarannya." Zayyan menjawab sambil mulai menceritakan awal mula musibah terjadi.
"Gue gak mau! Kalo dasi ini gue kasih, gue bakalan di hukum pas upacara nanti," pekik Jevan nangkring di atas pohon bersama Galih dan Zayyan.
"Ini genting, Jev. Ayolah, kalo lo tetap gak kasih, orang gila itu bakalan manjat pohon ini," desak Galih.
Jevan menatap kedua temannya yang ketakutan setengah mati. Tinggal dia sendiri yang masih beratribut lengkap. Belum lagi jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan pukul tujuh lewat lima.
"ORANG GILA SIALAN, MAKAN NIH DASI!" berang Jevan melepas dasi secara kasar dan menjatuhkan di tanah.
Orang gila tersebut lantas memungut sambil bersorak gembira. Barulah setelah itu, mereka terbebas dari kejaran orang gila dan bisa tenang turun dari pohon.
"Ayo, berangkat. Bentar lagi upacara," ajak Jevan.
Sepenggal cerita itu diceritakan oleh Galih yang sedang terkapar tak berdaya. Sesampainya di sekolah, mereka tidak sempat memberi tahu guru apa yang terjadi pada mereka dalam perjalanan ke sekolah.
"Malangnya nasib kalian," kata Haidar penuh simpati.
"Kalian ketemu sama orang gila, di mana?" tanya Ashira yang mendengarkan.
Jevan mendongak kemudian kembali menunduk. "Persimpangan gak jauh dari sekolah."
Soraya menatap Ashira, kedua siswi itu seperti mengetahui sesuatu. Suara gaduh pada meja menarik perhatian seisi kelas kepada Soraya.
"Kaget anjir!" Jevan menatap marah ke arah Soraya.
"Maaf, tapi gue tahu sesuatu soal orgil itu," kata Soraya sambil terkekeh kecil.
"Apaan?" sahut Jevan dengan malas.
"Itu bukan orgil. Tapi orang gabut," jelas Ashira.
"Apa maksudnya?" Galih dan Zayyan bertanya bersamaan.
"Iya, jadi orgil yang kalian temuin itu pasti perempuan, kan? Nah, itu sebenarnya orang waras, tapi cenderung suka berbuat jahil apalagi kalo ketemu cowok bening, ada aja tingkah lakunya yang seolah membuatnya terlihat gila," tambah Ashira kemudian.
"Bangsat!" umpat Jevan tidak terkontrol.
"Serius?" Raza terkejut mendengar cerita Ashira. Kedua teman perempuannya itu mengangguk setuju.
"Serius. Itu udah bikin resah warga setempat, karena kelakuannya yang memalukan," kata Soraya.
Zayyan dan Galih sudah berganti posisi menjadi duduk bersandar pada tembok. Tidak ada yang mengira bencana pagi ini adalah ulah kegabutan orang lain yang membuat mereka mendapatkan hukuman dari kepala sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Fiksi RemajaFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...