Entah sudah ketukan pintu yang ke berapa kali, Rajendra berdiri sambil terus memanggil nama Raza dengan suara lirih. Pria itu sangat yakin, bahwa anak laki-laki tersebut belum tidur.
Menyadari kenop pintu dengan mudah di dorong ke dalam, menandakan pintu kamar tidak terkunci. Mengambil langkah pelan Rajendra memasuki kamar putranya.
Sesampainya di dalam, sangat dengan jelas melihat Raza duduk dalam posisi memunggunginya. Yang lebih menarik perhatiannya di antara seisi ruangan adalah, perban melilit rapi di bagian kepala Raza. Itu tandanya cerita bi Sani bukanlah karangan belaka.
"Raza ...."
Tak ada pergerakan sama sekali. Mungkinkah Raza pura-pura tidak mendengar?
Langkah kecil itu berubah menjadi langkah cepat. Tepat berdiri di samping Raza, Rajendra bisa melihat lebih dekat bahwa anak laki-lakinya sedang melamun.
"Nak ... Kamu kenapa melamun?"
Teguran bernada lembut membuat Raza mengedipkan mata dan tersadar dari lamunannya. Kepalanya mendongak pelan menatap wajah Rajendra yang sedang menatapnya teduh.
"Pa--papa. Sejak kapan masuk?" balas Raza gelagapan.
Rajendra diam sebentar sambil mengambil posisi duduk di sebelah Raza. Pria itu menarik napas lalu membuangnya tanpa ada sepatah kata keluar dan itu terus berulang hingga dua menit kemudian barulah sebuah jawaban paling dinanti Raza keluar.
"Lima menit yang lalu." Rajendra menatap Raza intens. "Papa ketuk pintu tapi kamu tidak menyahut. Papa tahu kamu belum tidur," tambahnya. Raza meringis ketahuan belum tidur. Diperparah Rajendra menemukannya sedang dalam keadaan melamun.
"Maaf ...."
Seketika ringisan itu mengubah ekspresi Raza menjadi bingung. Bingung dengan kata maaf yang barusan Rajendra utarakan. Maaf untuk siapa dan karena apa?
"Kenapa Papa minta maaf?"
Lagi dan lagi Rajendra menghela napas, namun lebih berat mengembuskan nya. "Ini semua terjadi karena Papa. Kamu terluka karena Papa," kata Rajendra kemudian.
Raza melipat bibirnya ke dalam. Tindakan untuk menyela dia urungkan.
"Katakan bahwa kepalamu terluka karena kakek. Apakah masih terasa begitu sakit, Nak?"
Anak laki-laki tersebut menunduk sebentar sembari meremas selimut. Tidak pernah sekalipun Rajendra mengabaikan kondisinya. Mau sesibuk apapun, pasti selalu ada celah untuk hal-hal kecil yang tidak setiap anak bisa mendapatkannya.
"Ini udah mendingan, gak terlalu bikin pusing." Raza menatap gorden abu-abu di hadapannya. Sementara itu, Rajendra menepuk-nepuk pundaknya sambil bergumam lirih.
"Papa, apa Raza akan dikembalikan ke panti asuhan?"
Rajendra tersentak mendengar pertanyaan barusan. "Kenapa bertanya demikian? Apakah Papa datang kemari untuk membicarakan hal itu?"
"Tidak tahu. Raza hanya ingin bertanya."
"Tidak akan pernah. Kamu tetap anak Papa dan mama sekaligus kakak bagi Ara."
"Bagaimana dengan kakek dan nenek?" Raza menyela cepat. Perasaannya selalu was-was dan merasa terancam jika melihat dua manusia itu.
"Itu biar jadi urusan Papa. Semua akan berjalan baik-baik saja, percayalah."
Rajendra bangkit dari duduknya sambil mengulurkan tangan. Raza melihat itu hanya menatap cengo dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Turun. Ayo makan malam bersama!" ajak Rajendra.

KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Fiksi RemajaFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...