Memasuki waktu malam tepatnya di jam makan malam, Raza beserta keluarga besarnya singgah di sebuah restoran yang memang sudah jauh-jauh hari akan mereka sewa.
Tidak hanya keluarga Rajendra, keluarga Geo Adhitama pun ikut serta bersama tanpa melupakan anak-anak panti untuk makan malam di restoran.
Ibu Nirmala duduk di sebelah Sabrina. Wanita yang dulunya sama sekali tidak mau masuk rumahnya saat Rajendra hendak mengadopsi Raza.
Melihat sifat keterbukaan Sabrina juga cara Sabrina memperlakukan Raza cukup membuat hatinya senang. Di tambah tuan Geo yang tetap mengakui Raza anak mereka sejak Jevan berusia lima tahun.
"Saya sangat berterima kasih kepada ibu Sabrina dan bapak Rajendra yang benar-benar tulus merawat Raza," ucap ibu Nirmala.
Sabrina tersenyum simpul lalu mengangguk pelan. Dia juga sangat senang karena kehadiran Raza, putri mereka tidak lagi manja dan merengek meminta saudara angkat.
"Sama-sama Bu. Saya berserta suami juga merasa senang karena Raza bersedia menjadi bagian dari keluarga kami," balas Sabrina.
Tatapan mereka jatuh pada sosok pemuda yang dikerubungi anak-anak kecil dan berlomba-lomba untuk mencuri perhatiannya.
"Ibu Utari tidak ada niatan untuk menambah anak lagi?" gurau Bu Nirmala.
Wanita di samping kirinya menoleh lalu terkekeh pelan. "Ada Bu, ada. Tunggu yang besar lulus SMA," kata Utari menjawab pertanyaan ibu Nirmala.
"Kenapa harus nunggu si Bujang lulus?" timpal Sabrina penasaran.
"Gimana ya Jeng, Jevan itu tidak mau melihat ibunya hamil lagi. Makanya tunggu anak itu di tendang dari rumah," ujar Utari santai.
"Jevan denger ya, Mah." sungut Jevan menatap sang ibu. Tidak ada penyangkalan terhadap apa yang dikatakan, tetapi dengan mengatakan kata 'tendang' cukup menyita perhatian.
Memangnya dia bola, sehingga dengan mudah di tendang-tendang?
"Halah Jeng. Kok nuruti anak, kan, kalo berhasil juga kita yang urus dan biayain pas udah lahir," ujar Sabrina. Ia kurang setuju kalau apa-apa harus mengikuti apa kata anak. Toh, mereka juga jadi tanggungan orang tua.
Selagi mampu, baik finansial dan mental boleh dan sah-sah saja mau punya banyak anak.
Setelah obrolan singkat itu, makanan datang. Masing-masing mengambil tempat dan mulai memakan makanan seusai porsi. Bagi anak-anak yang ingin menambah dan merasa kurang kenyang, boleh memakan atau memesan makanan lain.
"Kita bayarnya bagi dua. Saya separuh begitu juga anda," kata Geo ketika Rajendra akan membayar semua tagihan.
"Tidak usah Tuan Geo. Biar saya saja. Kan, saya juga yang mengajak Tuan beserta keluarga," sahut Rajendra.
"Tidak apa-apa. Anda juga mengundang anak-anak panti, biarkan saya berbuat kebaikan demi mereka," sanggah Geo dan mau tidak may Rajendra mengangguk setuju.
"Silakan."
***
Sepulang mengantarkan anak-anak panti, Raza meminta izin untuk tidur di sana untuk satu malam saja, Aurora yang pada saat itu sudah mulai mengerti dan bisa menghargai waktu, lantas memperbolehkan jika kakak laki-lakinya tidur di rumah yang berbeda.
Tanpa ada protes keras, Aurora memberikan izinnya, bahkan jika ada kesempatan waktu luang, dia juga akan datang berkunjung atau mengundang anak-anak panti datang ke rumahnya.
Sabrina melihat kebesaran hati anaknya, tersenyum simpul. Aurora jauh tumbuh dewasa dibandingkan usianya yang masih tujuh enam tahun.
Raza tersenyum saat kembali memasuki kamar yang sudah lama ia tinggalkan. Sekelebat bayangan itu muncul tiba-tiba di mana dulu berangkat sekolah dengan tergesa-gesa, sampai melupakan sarapan.
Semua telah berlalu begitu cepat, Raza kecil sudah tumbuh menjadi remaja. Usianya pun semakin bertambah dengan kondisi yang jauh lebih baik.
"Ibu tidak memiliki banyak uang untuk membeli kue ulang tahun. Kue donat saja, tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa Bu. Raza sudah cukup senang karena dirayakan."
"Baiklah. Ayo sebutkan satu harapan indah yang ingin Raza capai."
"Hm apa ya. Raza bingung harus meminta apa."
"Coba ingat-ingat lagi. Hal paling mendasar di hati yang ingin Raza rasakan."
"Raza ingat! Baiklah Raza akan berdoa. Ya Allah, berikan Raza figur orang tua untuk Raza, Aamin."
Setetes air mata jatuh membasahi pipi. Di usapnya pelan, Raza berjalan menuju laci meja belajar. Di sana terdapat buku bersampul cokelat usang.
Buku tempatnya menulis keluh kesah selama hidup di panti asuhan. Rasa iri tak bisa ia pungkiri kerap kali pengambilan raport sekolah tanpa dampingan orang tua.
Ibu Nirmala sendiri sudah kerepotan mengurus adik-adiknya di panti. Kala itu hanya ada Ibu Nirmala saja yang mengurus dari sekian banyak anak-anak.
Satu sifat yang Raza pelajari sampai detik ini adalah, jangan egois. Bertahun-tahun hidup tanpa orang tua, cukup menjadikan Raza sebagai anak yang memiliki pemikiran cerdas dan condong memikirkan dampak dari hal-hal yang membuatnya menyesal.
Sunyi dalam kamar serta hari semakin larut malam membuat suasana di dalam ruangan begitu tenang. Raza masih terjaga di saat semua sudah terlelap.
"Semua benar-benar sesuai harapan meskipun harus melalui tahap sabar," kata Raza sambil merebahkan diri di atas kasur.
Bingkai foto masa kecilnya tidak berubah tempat. Ibu Nirmala sengaja tidak pernah menyentuh apapun yang ada di kamar ini selain menyapunya saja.
"Dua hari lagi perpisahan. Dan nanti aku punya orang tua yang mendampingi ku mengambil raport."
Rasanya sudah tidak sabar menunggu hari Senin mendatang. Raza membayangkan hari paling menegangkan sekaligus mengharukan itu terjadi.
***
Keesokan harinya tepat pukul sepuluh pagi, Raza terbangun. Langkahnya begitu tergesa keluar dari kamar untuk mencari sosok yang biasa dipanggilnya ibu.
"Kenapa, kok seperti orang bingung," kekeh ibu Nirmala.
"Raza kesiangan bangun, maaf ya Bu," jawab Raza lirih.
"Gapapa. Ibu emang sengaja gak bangunin kamu. Gimana kamarnya, tetap nyaman di huni?" balas ibu sambil menuang sup ke dalam mangkok.
"Ehm. Rasanya tetap sama, bikin nyaman." Raza berjalan membuntuti ibunya. "Raza lapar."
Ibu Nirmala berbalik badan lalu mencubit gemas hidung mancung putranya.
"Duduklah, biar ibu yang siapkan. Tidak usah menolak, ini kemauan ibu sendiri," ucapnya begitu cepat sampai-sampai Raza tidak ada kesempatan untuk menyela.
"Baiklah Nyonya."
Bahkan tidak hanya mengambilkan makanan, ibu Nirmala bersikukuh menyuapinya sampai benar-benar kenyang.
"Raza bukan bayi lagi, Bu. Bagaimana jika anak-anak lihat, pasti akan meledekku," protes Raza saat sendok makan berada tepat di depan bibirnya.
"Kamu tetap bayi di mata ibu. Tenang aja, adik-adikmu tidak akan meledek," ujar ibu.
Tidak ada alasan bagi Raza menolak. Ibu benar-benar memperlakukannya seperti bayi. Memanjakannya dengan kata-kata penuh makna.
"Kalau sudah dewasa kelak, jangan lupa untuk datang berkunjung ke sini lagi, ya?" ucap ibu tiba-tiba. Suaranya terdengar bergetar seperti menahan tangis.
Raza yang menyadari perubahan raut wajah juga suaranya sang ibu, lantas menahan suapan sendok dan membawanya kembali ke atas piring.
"Mengapa ibu menangis?" tanya Raza lembut.
Ibu Nirmala menggeleng lemah. "Ibu cuma sedih aja, kamu beranjak dewasa tapi semakin jauh dari ibu
Di lain sisi ibu juga senang akhirnya Raza bisa mendapatkan apa yang Raza inginkan," katanya sambil menyeka air mata.Raza terdiam sejenak. Kemudian meraih pergelangan tangan ibunya dan membawanya masuk ke dalam pelukan.
"Raza sayang ibu."
"Ibu juga Nak. Selamat menempuh kehidupan dewasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Teen FictionFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...