Dua siswa dengan lencana Galih dan Jevan sedang berdiri di depan papan tulis sambil menatap ponsel, membaca teks pesan yang beberapa menit lalu saling berbalas. Suara tawa seisi kelas membeludak saat teks pesan terakhir dibacakan oleh Jevan.
Cowok itu malu bukan kepalang. Sedangkan Raza yang duduk di belakang menggelengkan kepala. Soraya dan Ashira saling lempar pandang menyaksikan kejadian di depan. Kemudian beralih menatap Raza yang ikutan malu akibat ulah teman-temannya.
"Raza, kamu dan Jevan bertengkar?"
Seperti yang sudah Raza perkirakan bahwa pertanyaan semacam ini akan ditujukan kepadanya. Ketika dia mendongak menatap guru, Jevan menatapnya sekilas lalu tertunduk kembali sambil menyikut lengan Galih.
"Enggak Pak, saya dengan Jevan tidak bertengkar," kata Raza.
"Lalu, kenapa Jevan katakan kamu sangat marah padanya. Sesuatu hal yang besar terjadi?"
Entahlah, sebut saja guru paling sibuk. Sibuk mencari tahu privasi anak muridnya sendiri. Raza tidak menyukainya, tetapi tidak ada pilihan selain menjawab pertanyaannya.
"Hanya kesalahpahaman saja, dan kami sudah berbaikan. Bukan begitu, Jevan?" sahut Raza lagi.
Merasa namanya disebut, Jevan mendongak dan mengangguk-angguk. "Iya, bener."
Guru melepas kacamatanya sambil mengurut pangkal hidung. Kedua tangannya yang saling menyilang di depan dada perlahan diturunkan dan berganti posisi menjadi tolak pinggang.
"Kalian ini, jaman Bapak sekolah dulu ...."
Apalagi kalau bukan menceritakan masa sekolah. Guru itu terlalu bersemangat membagikan kisahnya sampai anak-anak tidak mendapatkan pelajaran yang semestinya selain menjadi pendengar yang baik.
Selama itu juga, Galih dan Jevan terus berdiri di depan hingga kaki mereka terasa kesemutan. Mereka berdua duduk di lantai sambil terus mendengarkan karena kisahnya masih teramat panjang.
Lima belas menit berlalu, barulah mereka dipersilakan untuk kembali di tempat duduk masing-masing. Jevan mengatupkan bibirnya rapat, dia tidak berbicara kepada siapapun termasuk Ashira dan Soraya yang menatapnya penuh tanya.
Pasti di kepala mereka dipenuhi oleh serentetan pertanyaan mengapa dan bagaimana bisa. Raza pun tampaknya enggan buka suara, karena sengaja menghindar ketika beradu pandang oleh teman dekatnya.
Bel pulang berbunyi nyaring membuat seluruh siswa-siswi beranjak dari tempat duduk untuk melangkah keluar meninggalkan kelas.
"Za, tunggu!"
Soraya menahan lengan Raza, dia bergerak maju untuk mendekat. Dibelakangnya terdapat lima temannya yang menumbalkan dirinya sebagai umpan agar Raza mau berbicara. Sejak turunnya dari rooftop, Raza tidak bicara apapun selain memberikan Jevan minuman.
"Kenapa?"
Cewek itu menelan saliva sambil mengedipkan mata. Raza tidak seperti biasanya. Dia tampak berbeda, terutama dari sorot matanya yang menunjukkan bahwa dia sedang tidak ingin ditanya-tanya.
"Lo ... beneran marah sama kita-kita?" lanjutnya berusaha tidak gugup.
Raza menatap sekilas lengan seragamnya yang masih dicekal oleh Soraya, kemudian menatap wajah teman-temannya satu persatu.
"Enggak, enggak ada yang marah. Tapi, tindakan itu sangat kriminal, bagaimana jika sampai Dhani kehilangan nyawa?"
"Emang itu tujuannya," sela Jevan.
"Tolol banget," tambah Haidar memukul lengan Jevan. Raut wajah Jevan pun sudah tidak panik, dia jauh lebih santai. Mau semenyeramkan apapun tindakannya, Raza pasti akan memberikan maaf.

KAMU SEDANG MEMBACA
Homesick : Raza [TAMAT]
Teen FictionFirst of all, cover by Canva Halo, panggil aku Mocha ❤️ *** Definisi homesick itu seperti apa? Beragam, namun satu yang pasti. Ketika teringat senyum di wajah orang tua. Begitulah ucap seorang remaja laki-laki ketika dia mulai memahami apa dan sebe...