Chapter Twenty Seven : Anak Adalah Anugerah

138 7 0
                                    

Semenjak kunjungan ke rumah tuan Rolan Sanskara, cukup berpengaruh terhadap perubahan sikap Raza. Yang dulunya penuh senyum ceria berubah murung. Kerap kali didapati tengah melamun seorang diri, dan jawaban yang keluar dari bibirnya selalu sama. Dia tidak apa-apa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya.

"Lo gak kenapa-napa, kan, Za? Seharian ini, gue perhatiin lo banyak melamun. Seolah, raga lo disini tapi pikiran lo entah kemana. Ada masalah, sini cerita."

Soraya datang membawa dua botol teh pucuk dari kulkas. Raza sengaja datang berkunjung ke sana tanpa mengabari siapapun termasuk si tuan rumah.

Raza menggeleng sembari menerima juluran botol dan membuka segelnya. Dengan sabar Soraya menunggu, menunggu sampai Raza siap bercerita. Cowok di sampingnya piawai dalam menutupi masalah, terlalu banyak tertawa hingga orang mengira hidupnya sangat bahagia.

"Aku gapapa. Akhir-akhir ini cuma kecapean biasa."

"Pret!" Soraya mendesis. Dia menepuk pundak Raza kencang dan menunjukkan ekspresi tidak puas akan jawaban yang barusan dia dengar.

"Lo gak pinter bohong di depan gue. Ada apa, lo punya masalah sama siapa? Sini biar gue hajar orang yang udah bikin lo begini," kata Soraya menggebu-gebu.

Kakek Rolan. Apa kamu bakalan tetap semangat seperti ini jika mengetahui inti permasalahannya?

Tidak ada jawaban keluar dari bibir Raza. Cowok itu hanya menatap wajah Soraya yang menahan geram. Lucu, pikirnya.

"Mau sampai biji mata lo keluar pun, gue gak bakalan salting di tatap kayak gitu sama lo," ketus Soraya balas menatap Raza tajam.

"Nyeremin ih!" Raza menyudahi kegiatannya lalu menyenderkan kepalanya sambil memejamkan mata. Ibu Soraya datang dari arah dapur membawa satu piring berisi ubi ungu yang baru saja di kukus.

"Silakan dinikmati Nak Raza," ujar ibu Soraya sambil tersenyum.

"Makasih Bu. Maaf ngerepotin," sahut Raza lekas bangun dan duduk tegap.

"Sama sekali tidak merepotkan. Ayo di makan, maaf karena hidangannya cuma ubi ungu sama teh anget." Raza tertawa lirih kemudian menggeleng lemah. Baginya ini sudah sangat nikmat.

Soraya sendiri hanya diam menyimak, ibunya sangat mudah akrab dengan siapapun. Bahkan menganggap temannya sebagai anak kandung sendiri. Sepertinya Raza menempati posisi istimewa di hati ibunya dibandingkan dirinya sendiri.

"Di makan Za, kalo kurang masih banyak di panci." Soraya mengambil satu buah potong ubi lalu mengupas kulitnya dengan hati-hati karena masih mengeluarkan kepulan asap. Kebetulan ayahnya panen ubi dengan hasil yang sangat memuaskan. Banyak dari yang di dapat telah laku terjual di pasar, sebut saja anak dari juragan ubi ungu.

"Panen sendiri?" tanya Raza.

"Iya dong! Bokap gue kan petani hebat. Apa aja yang di tanam, selalu membuahkan hasil," sahut Soraya dengan bangganya.

Raza tersenyum samar, dia jadi teringat dengan ibu Nirmala yang dulu semasa masih kanak-kanak selalu diberi makan ubi jika kehabisan beras.

"Jadi kangen ibu," celetuk Raza lirih.

***

Setelah Raza kembali dari rumah Soraya, dia pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Ruangan ini sepertinya akan menjadi asing setelah dia lulus SMA nanti. Begitu juga anggota keluarga yang sempat melengkapi hidupnya akan hilang bersama perginya dia dari rumah ini.

"Nak, Papa boleh masuk?"

Ketukan pelan disertai suara seseorang dari luar pintu menyadarkan Raza dari lamunannya. "Masuk aja Pa."

Homesick : Raza [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang