12.

8.9K 482 16
                                    

Cakra menghembuskan nafasnya pelan. Rahangnya masih terlihat mengetat. Rinjani bisa melihat sebegitu kuat Cakra menekan amarahnya saat ini.

Tangannya terangkat untuk memijat pangkal hidungnya sendiri, ia terlihat terdiam lama, menatap kosong ke bawah kaki Rinjani.

Wajahnya terlihat frustasi.
Tangannya kemudian bergerak, melepas kukungannya pada tubuh Rinjani.

Cakra membuka cengkraman tangan kanannya yang sedari tadi menggenggam sesuatu, obat salep.

Mata Cakra fokus pada obat salep itu saat ia membuka tutupnya, begitupun dengan Rinjani.

Tak lama, fokus Rinjani tak lagi menatap salep itu saat Cakra mulai mengusapkan jarinya yang telah diolesi obat, ke bibir Rinjani.

Dengan telaten, Cakra mengolesi obat itu.

Keheningan kembali terasa. Rinjani memfokuskan matanya pada dada bidang Cakra, sedangkan Cakra, fokusnya pada bibir Rinjani.

Tiba-tiba, tangan Cakra berhenti bergerak. Cakra berhenti mengolesi obat tersebut.
"Bukan salah lo."
Ucapnya tiba-tiba. Matanya tak menatap Rinjani.

Rinjani mendongakkan kepalanya pelan.

"Lo ga perlu bertanggung jawab atas semua hal Rinjani." Ucapnya lagi, yang kini menatap Rinjani.

"Semuanya, bukan salah lo."

Matanya terpaku menatap Cakra. Sesuatu terasa bergejolak dalam diri Rinjani. Rinjani tertegun.

Rinjani—- begitu menunggu seseorang untuk mengatakan itu kepadanya, satu kali saja. Bahwa semua ini bukan salah nya, dan Rinjani tak pantas untuk mendapatkan semua hal buruk yang terjadi.

Semua orang selalu menganggapnya bersalah, semua orang selalu mengatakan dirinya jahat.
Seiring waktu, Rinjani mendapati dirinya terbiasa dengan itu. Perasaan itupun perlahan berubah menjadi pembenaran. Rinjani merasa— semua itu benar, semua yang mereka katakan tentang dirinya benar. Dan setelah semua yang terjadi, ia pantas mendapatkan itu. Ia pantas di perlakukan dengan buruk.

Cakra.
Begitu mudah baginya untuk mengetahui isi hati Rinjani. Begitu mudah baginya untuk mengerti Rinjani, seperti Rinjani adalah sebuah buku. Buku yang akan memberi tahumu segala hal hanya dengan membukanya.

Sebuah pemikiran tiba-tiba melintas di otaknya.
Rinjani menfokuskan tatapannya pada mata hitam pekat Cakra, berharap apa yang tengah dipikirkannya itu salah.

"Kak."
Rinjani memulai ucapannya. Suaranya tercekat.

"Itu lo kan?"
Lanjut Rinjani.

"Murid yang lo ceritain itu. Yang hampir bunuh diri itu. Itu lo kan?"
Rinjani mendapati dirinya kembali tercekat saat mengatakan kalimat itu. Kepalanya terasa pusing. Ia menatap Cakra yang tiba-tiba terdiam.

Tangan Cakra yang masih berada di bibir Rinjani terasa bergetar, ekspresinya kaku, rahangnya mengeras.

Benar. Itu dia.

Murid itu adalah Cakra sendiri.

Rasa sesak tiba-tiba menghampiri Rinjani. Rinjani mendapati dadanya terasa sakit saat matanya melihat ekspresi itu. Ekspresi yang baru pertama kali Cakra perlihatkan kepadanya.

Rinjani kemudian teringat saat pertama kali ia membiarkan semua emosinya mengambil alih dirinya, saat pertama kali ia membiarkan tembok pertahanannya runtuh. Saat itu di UKS sekolah. Dan Cakra melihat itu.

Cakra menatap matanya. Ia melihat itu. Seperti sebuah Cermin. Cakra melihat dirinya sendiri di dalam mata Rinjani.

Itu sebabnya akhir-akhir ini Cakra selalu berada disekitarnya. Itu sebabnya Cakra memperlakukan Rinjani dengan ramah. Dan itu sebabnya Cakra menyuruh Rinjani untuk membalas dendam.
Karena Cakra— melihat Rinjani seperti dirinya.

Stolen Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang