3. Grup Dance

489 13 0
                                    

“Na? Kamu kenapa?” Gio membalas pelukan Alana dan mengusap-usap kepala Alana dengan lembut.

Tangis Alana semakin pecah dalam dekapan Gio, dia tidak bisa menjelaskannya saat ini juga. Hanya butuh pelukan terlebih dahulu yang bisa menenangkan dirinya, hanya pelukan Gio. Mereka berdua berhenti di sebuah halte bus karena hujan turun cukup deras. Gio tidak dapat berbuat apa-apa, dia hanya bisa menunggu Alana menjelaskan semuanya. Padahal niatnya ingin Gio bercerita tentang orang tuanya kepada Alana, namun Alana malah menangis.

Perlahan-lahan Alana mulai merasa tenang, air matanya membuat dirinya merasa mengantuk. Alana melonggarkan pelukannya dari tubuh Gio, lalu dia mencari tissue dari dalam tasnya dan menghapus air matanya untuk menghilangkan jejak air mata yang ada di pipinya itu. Gio mengambil alih tissue yang Alana, kemudian dia mengusapkan ibu jarinya pada kedua pipi Alana dengan lembut untuk menghapus air mata yang masih membekas di bagian bawah mata Alana.

Seulas senyuman terbit di wajah Alana, dia beruntung bisa bertemu dengan Gio di dunia ini walau sebelumnya di masa pendekatan memang mereka berdua tidak saling terbuka seperti ini, dan masih sama-sama berfokus pada diri masing-masing. Alana mengalihkan pandangannya ke arah jalanan yang sudah semakin sepi, hujan sudah mulai reda juga. Dia hendak mengajak Gio untuk pulang tapi Gio dengan cepat menolaknya.

“Kenapa ga mau pulang? Udah malam loh ini, emangnya kamu ga ngantuk?” tanya Alana.

Gio menggelengkan kepalanya cepat, “Percuma juga aku pulang, Na. Mama sama papa aku pasti lagi sibuk sama kerjaan mereka, ujung-ujungnya ga akan merhatiin aku,” jawabnya.

“Maaf, Gi. Tapi bukannya mama sama papa kamu lagi di luar negeri ya?” Alana menatap kedua mata Gio lekat.

“Mereka balik ke Indo, tapi besok juga udah balik lagi. Cuma mau mastiin kondisi rumah, sama bawain beberapa makanan buat aku,” jelas Gio.

“Jangan sedih, oke? Ya udah kita di sini dulu sampe kamu tenang,” putus Alana dengan suara lembutnya.

“Na,” panggil Gio. “Boleh ga kalo tiap hari kamu kirim pap sama aku? Tiap mau ke mana-mana, biar aku semangat,” pintanya.

Sungguh gemas permintaan kekasihnya itu, Alana tertawa pelan kemudian memeluk Gio erat-erat. Sifat Gio ternyata berbanding terbalik jika sedang berada bersama teman-teman geng motornya, biasanya dia terlihat garang dan tegas. Tapi bersama Alana justru manja, bisa dikatakan dia bayi besar Alana. Pikiran Alana tiba-tiba saja tertuju kepada Kay, beberapa hari lalu Kay bertemu dengannya dan mengatakan keinginannya yang belum terwujud selama sekolah.

“Ay, kamu mau bantu aku ga?” tanya Alana.

“Bantu apa, Na?” Gio melepaskan tubuhnya dari dekapan Alana dan mengerutkan keningnya.

“Aku mau wujudin keinginan Kay, bantu aku buat grup dance sama temen-temen aku boleh?” pinta Alana.

Gio menaikkan sebelah alisnya, “Temen cewe kamu doang tapi, jangan ada member cowo. Ga mau aku nantinya kamu malah suka suka sama member cowo itu,” pesannya.

Kelihatan sekali dari raut wajahnya, bahwa saat ini Gio sedang cemburu. Dia sudah membayangkan bagaimana jika Alana meninggalkan dirinya demi lelaki lain, Gio mengacak rambutnya asal. Ternyata Alana benar-benar candu baginya, Alana membuatnya seolah-olah merasa menjadi lelaki yang paling beruntung. Alana itu baik, sikapnya lembut, penyabar juga. Selama mereka menjalani masa-masa pendekatan tidak pernah Alana memarahinya.

“Kamu jangan mikir yang macem-macem dong ay, aku ga akan berpaling dari kamu, percaya oke sama aku? Hm?” nasehat Alana dengan suara lembutnya.

“Janji ya sama aku? Jaga kepercayaan aku? Aku mau kamu bener-bener pegang kepercayaan yang udah aku kasih, seratus persen,” harap Gio.

“Iya sayang iya, janji! Kalo aku macem-macem kasih aja aku hukuman gapapa,” jawab Alana, sungguh Gio membuatnya gemas.

Gio mengacak rambut Alana. “Nice girl, she’s mine. I love you more and more.”

I love you too ay,” balas Alana.

JJJ

Suara alarm dari ponselnya membuat Alana terbangun pukul lima subuh, dia bersiap-siap untuk segera berangkat sekolah. Hari ini dia sudah membuat janji dengan teman-temannya untuk mulai mendiskusikan tentang grup dance yang akan mereka buat. Mulai dari nama grup, tema, hingga mencari event-event dance. Alana sudah siap dengan seragam sekolahnya, dia melihat sudah ada Arkan di meja makan.

Hanya Arkan saja, sementara maminya tidak ada. Alana sudah tahu pasti Angel masih sedih dengan kejadian semalam. Suasana ruang makan sepi, tidak seperti biasanya banyak makanan yang bisa dipilih untuk sarapan. Berbeda hawanya jika hanya berdua dengan Arkan, tidak ada pembicaraan di antara kedua kakak beradik itu. Arkan fokus memainkan ponselnya, sebentar lagi dia akan berangkat ke kampus.

Alana mengambil satu lembar roti yang ada di meja, lalu hendak meninggalkan ruang makan. Namun suara Arkan membuat langkahnya terhenti. Alana memutar tubuhnya untuk melihat Arkan yang mulai berjalan ke arahnya, memberikan sebuah kotak bekal untuknya. Tadi pagi Arkan yang membuatkan bekal untuk Alana, berupa mie dan telur mata sapi kesukaan Alana. Kotak bekal yang lucu bergambar doraemon membuat Alana dapat tersenyum.

“Abang yang buat? Lucu banget deh makasih abang sayang!” Alana mencium pipi Arkan sekilas.

“Iya buat adek abang, semangat ya sekolahnya. Tapi abang minta restu kamu boleh ga?” Arkan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Alana mengerutkan keningnya. “Restu? Maksudnya gimana sih bang?”

“Abang udah punya pacar, nanti sore abang bawa ke rumah. Kamu restuin ya? Abang juga mau cepet-cepet nikahin dia,”’ jawab Arkan.

“Kalo gitu aku juga minta ijin boleh ga? Aku mau buat grup dance sama temen-temen, bar ada kegiatan juga. Boleh kan bang? Boleh ya plis?” mohon Alana dengan wajah memelasnya.

Arkan menganggukkan kepalanya, “Iya, tapi jangan aneh-aneh. Ya udah gih berangkat nanti telat,” titahnya.

Jika biasanya Alana berangkat sekolah diantar supir, kali ini tidak. Dia akan menggunakkan motor hadiah ulang tahun yang diberikan Andreas tahun lalu, saat ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Alana mengendarai motornya dengan santai, jalan pagi ini senggang sehingga dia tak perlu mengendarakan motornya dengan cepat. Sesampainya di sekolah, Alana bertemu dengan Gio di parkiran, lelaki itu baru saja tiba di sekolah.

“Hai cantik, tumben bawa motor,” sapa Gio.

Alana tersenyum. “Iya dong, gimana keren ga aku? Aku mau belajar mandiri biar ga bergantung sama kamu terus.”

“Kok kamu gitu sih? Aku kan seneng direpotkan, baru kemarin aku bilang gitu. Kamu ga inget?” Raut wajah Gio berubah menjadi lesu. “Kamu juga pagi ini ga kirim pap, padahal aku pengen dapet pap dari kamu pagi-pagi biar semangat sekolah,” sambungnya.

“Eh? Maaf,” ucap Alana, dia benar-benar merasa bersalah kepada Gio.

Gio menatap langit pagi yang cerah, “Gapapa, aku tahu memang kita jadian terlalu cepat makanya kamu belum terbiasa ‘kan? Atau kamu nerima aku karena terpaksa? Makanya kamu ga inget apa kesukaan aku,” tuduhnya asal.

“Ay! Apa si kok kamu gitu? Cemburu ga jelas ya? Overthinking? Masih pagi jelek banget overthinking, aku ga ada nerima kamu karena terpaksa, aku bener-bener tulus cinta sama kamu ay. Aku janji bakal inget apa aja kesukaan kamu, nanti aku pap ya? Jangan ngambek lagi,” bujuk Alana.

“Gapapa, maaf ya aku udah overthinking ga jelas pagi-pagi gini. Mending sekarang kita ke kelas ya, ayo cantikku!” ajak Gio.














#fiksiremaja

Jangan lupa follow Ig aku ya @itsmejeannnn21

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang