22. Luka Hati dan Fisik

134 3 0
                                    

Seluruh Ujian telah dilaksanakan oleh para siswa yang bersekolah di SMA Bina Bakti, para siswa tengah melakukan aksi coret-coret seragam di halaman sekolah, mereka tertawa menikmati hari terakhir di sekolah. Lain halnya dengan Alana, dia memutuskan untuk pulang seorang diri tanpa sepengetahuan teman-temannya. Semalam dia telah membuat keputusan dengan Angel, Maminya agar mengijinkannya tinggal di apartemen.

Dengan berat hati Angel membiarkan anaknya tinggal di apartemen sesuai keinginannya, Alana pulang menggunakan taksi online, tapi ketika di tengah perjalanan ada sekelompok pelajar yang melakukan tawuran. Sang Supir bingung harus melakukan apa, jika maju maka nyawa mereka yang menjadi taruhannya sedangkan untuk memutar balik kondisi tidak memungkinkan karena suasana di sana sangat ricuh.

Alana bingung sendiri, tubuhnya mulai bergetar hebat ketakutan. Dia berusaha menghubungi Gio supaya lelaki itu dapat menolongnya tapi hasilnya nihil, ponsel Gio tidak aktif. Segenap keberanian Alana kumpulkan, dia nekat untuk keluar dari taksi, dan pulang dengan berjalan kaki. Tasnya dia gunakan untuk menutup kepalanya supaya terhindar dari lemparan batu, ataupun benda berbahaya lainnya.

“Awas Lan!” pekik Gio.

Sebuah batu berukuran sedang melayang, dan hampir mengenai kepala Alana. Gio dengan cepat menolong Alana dengan membawa kepala Alana ke dalam dekapannya, sehingga batu yang seharusnya mengenai kepala Alana menjadi tepat mengenai kening Gio. Cairan kental berwarna merah mengalir di kening Gio, mulai mengalir di pipinya. Alana belum mengetahui itu sebab matanya kini terpejam rapat, takut.

“Buka mata kamu, kita udah di tempat yang aman,” perintah Gio.

Alana membuka matanya perlahan. “Mak-, hah!? Itu darah Gi, kita ke rumah sakit aja ya? Ayo Gi, darahnya lumayan banyak juga!”

“Ga usah gapapa, aku bisa obatin lukanya sendiri nanti di rumah,” tolak Gio.

“Tapi bahaya Gio! Ayo ke rumah sakit!” paksa Alana.

Gio memegang jemari Alana yang terasa dingin akibat ketakutan tadi, “Apa kita ga bisa balikan? Aku sama Kejora ga ada apa-apa, Lan. Aku ga bisa kalo ga sama kamu, aku pasti cemburu banget setelah ini lihat kamu sama lelaki lain,” tuturnya.

Untuk menerima lelaki lain saja Alana belum bisa, tak segampang itu Alana memulai hubungan baru setelah kemarin putus dengan Gio. Bahkan Alana memutuskan untuk tidak mengenal cinta lagi, menunggu, dan berharap saja agar dirinya berjodoh dengan Gio. Hening, Alana hendak menjawab tapi gengsi. Alana menggelengkan kepalanya pelan kemudian melambaikan tangannya agar taksi yang sedang melaju ke arahnya segera berhenti tepat di depannya, dan Gio.

“Gi, lebih baik kita ke rumah sakit ya. Itu udah ada taksi juga, luka kamu nanti infeksi bahaya! Aku ga nerima penolakan!” ucap Alana dengan tegas.

Pada akhirnya Gio mau menuruti ajakan Alana, beginilah Gio yang sesungguhnya sekalipun di luar dia tampak sangar tapi kenyataannya Gio akan manja pada gadis kesayangannya, contohnya saja Alana. Hanya gadis yang Gio sayangi, yang mampu membuat Gio patuh seperti anak kecil. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Alana melakukan berbagai cara supaya darah yang ada di kening Gio tidak keluar semakin banyak, dia menggunakan tissue, dan sedikit air mineral untuk membersihkan luka yang ada di kening Gio.

“Lan,” panggil Gio.

“Kenapa Gi?” tanya Alana.

Gio memanyunkan bibirnya. “Kalo aku larang kamu deket sama cowo lain udah ga ada hak lagi ya?”

“Tanpa kamu minta aku juga tetep lakuin itu kok,” jawab Alana.

“Terus kenapa kamu putusin aku? Kalo gitu lebih baik kita jangan putus kemarin,” komentar Gio.

Alana mengembuskan napasnya kasar, “Jangan dibahas dulu ya? Intinya sekarang kita fokus sama hidup kita masing-masing dulu aja. Perbaiki diri masing-masing, kalo emang kita jodoh pasti kita bisa sama-sama lagi kok,” jelasnya.

***

“Aku udah telepon Mikael buat jemput kamu di sini, jadi aku pulang ya. Makasih karna udah mau tolongin aku, jaga diri Gi,” pesan Alana.

Gio menundukkan kepalanya. “Aku butuh kamu, Lan.”

Langkah Alana terhenti mendengar suara Gio, antara hendak kembali melanjutkan langkahnya atau kembali menemui Gio, dan memeluknya. Alana tak kuasa menahan air matanya, entah mengapa rasanya tak kuat mendengar perkataan Gio. Air mata itu selalu saja mengalir jika mengingat, atau mendengar hal apapun yang berhubungan dengan Gio. Tapi Alana tetap tak akan mengubah keputusannya.

“Eh ada lo, Lan? Kenapa ga masuk? Pasti Gio udah nunggu lo.” Mikael menunjuk ke ruang dokter tempat di mana Gio berada.

Kepala Alana tertunduk, dia menghapus air matanya setelah itu meninggalkan rumah sakit tanpa menjawab ucapan Mikael barusan. Mikael dibuat bingung dengan sikap Alana, ditambah dia melihat Gio seperti sehabis menangis, tapi Gio tak mau berkata jujur bahwa dia habis menangis. Mikael membantu Gio berjalan, lelaki itu rupanya berjalan dengan sempoyongan jika Mikael tidak membantunya.

Sesampainya di rumah, Gio melihat pintu rumahnya terbuka. Ada Papanya di sana, Ergo. Tapi sosok Nela tidak terlihat di mata Gio, kehadiran Ergo seperti tak Gio anggap. Dia berjalan lunglai, dan masuk ke kamarnya seolah tidak mengetahui ada orang di rumahnya. Ergo segera menyusul Gio ke kamarnya, Gio sedang duduk di kursi belajarnya, di kepalanya terdapat perban itulah yang membuat Ergo semakin merasa bersalah kepada anaknya.

“Gio, kamu kenapa nak? Kamu habis ngapain? Kenapa kepala kamu sampai kayak gitu?” tanya Ergo setelah tiba di kamar Gio.

Mulut Gio bungkam, tidak sudi untuk sekedar menjawa satu kata pun.

“Maaf, semua yang udah papa lakuin selama ini salah, papa sadar. Yang perlu kamu tahu, papa pulang duluan karena mama selingkuh sama rekan kerja papa, sekarang cuma kamu satu-satunya yang papa punya. Papa ga perlu harta lagi, harta masih bisa dicari,” papar Ergo.

“Bagus papa sadar sekarang,” kata Gio. “Apa papa ga butuh harta yang banyak lagi? Ga mau ninggalin aku lagi? Kenapa di saat udah kayak gini papa baru nyesel? Aku anak ga berguna pa!” sambungnya.

Gio mulai memukul-mukul kepalanya sendiri, Ergo telah kembali tapi justru kini Alana yang meninggalkannya. Ergo berusaha menghentikan aksi Sang Anak, dia khawatir melihat kondisi Gio, begitu memprihatinkan. Tapi Gio mendorong tubuh Ergo sehingga pria itu terhuyung, tubuhnya terjatuh ke kasur yang empuk. Setelah memukul-mukul kepalanya sendiri, kini Gio lanjutkan dengan memukul kaca menggunakan tangannya yang terkepal hingga mengeluarkan darah.

“Semua perempuan emang sama aja! Bisanya nyakitin! Gue benci mama! Tapi gue sayang Alana!” teriak Gio.

Ergo kembali menghentikan apa yang tengah dilakukan Gio, dia mendekap tubuh Sang Anak erat-erat, memeluknya dan membisikan nasihat di telinga Gio. Napas Gio masih terengah setelah meluapkan emosinya tadi.

“Istighfar, Gio. Kamu punya papa sekarang, hidup ga harus tentang cinta. Kamu bisa bahagia sama temen kamu, atau sama pendidikan kamu di kuliah, bahkan karir kamu. Kalo udah sukses nanti, bukan kamu yang ngejar perempuan tapi perempuan yang ngejar kamu.” Ergo menepuk-nepuk punggung Gio, memberikan kekuatan kepada anaknya. “Kamu tenangin diri kamu dulu, jangan emosi,” nasihatnya.














Tbc

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang