E P I L O G

340 5 0
                                    

“Ay? Kamu kenapa di sini? Kamu masih hidup?” Alana tercengang melihat Gio datang ke kampusnya.

Baru saja Alana menyelesaikan mata kuliah terakhirnya, pengantar akuntansi. Alana masuk jurusan manajemen di Universitas Indonesia yang sudah diimpikannya sejak awal masuk SMA. Alana kuliah sembari bekerja mendirikan sebuah kedai kopi di dekat kediamannya. Alana ingat bahwa Gio menginginkan sekali menjadi seorang CEO dari kedai kopinya nanti. Sayangnya keinginan itu tidak tercapai.

Alana dengan gembira menghampiri Gio berlari lalu memeluk kekasihnya itu, Alana menumpahkan semua kerinduannya dalam pelukan tersebut. Tapi anehnya sejak tadi Gio tidak mau berkata apapun kepadanya, Alana bertanya pun tidak dijawab. Alana melepas pelukannya dengan Gio, lalu melambaikan tangannya di hadapan wajah tampan Gio. Hanya senyum saja yang Gio berikan padanya, senyum tulus.

Tiba-tiba saja sosok Gio menghilang dari pandangannya, Alana mencari Gio ke sana ke mari tapi tak mendapatkan sosok itu. Alana berlari mengelilingi sekitar kampusnya tapi yang dia dapat adalah pertemuan dengan orang lain, yang tidak dia harapkan. Alana hanya mau Gio, sosok Gio sangat Alana butuhkan untuk proses perkuliahannya saat ini, maupun proses karirnya. Lelah mencari keberadaan Gio, kaki Alana terasa lemas setelah itu dia terjatuh sembari menangis.

Jantung Alana berdebar kencang ketika terbangun, matanya melirik ke arah jam yang melingkar di kamarnya ternyata jam menunjukkan pukul empat subuh. Alana mengembuskan napasnya kasar, tak lama setelah itu dia memandang sebuah bingkai foto yang ada di samping tempat tidurnya. Foto dirinya dengan Gio menggunakan seragam SMA dalam acara wisuda sekolahnya. Ternyata itu semua hanya mimpi.

“Ay, kamu kangen aku ya? Ga kerasa banget kamu udah satu tahun ninggalin aku, kamu harus tahu si ay aku kangen banget sama kamu,” kata Alana.

Mata Alana terpejam sesaat, sebelum berangkat ke kampus nanti dia akan pergi ke makam untuk mengunjungi makan Gio, sudah lama dia tidak datang ke sana. Hanya untuk sekedar menabur bunga saja, selama satu tahun ini Alana berusaha kuat hidup tanpa Gio di sampingnya. Hati Alana sudah tertutup rapat, dia tidak akan bisa menerima lelaki lain sekalipun itu lebih baik dari Gio. Memang seringkali dia dikatakan perlu memperluas pikirannya, tapi Alana tak peduli.

Sholat subuh sudah Alana tunaikan, dia menuruni satu persatu anak tangga untuk melaksanakan sarapan bersama kedua orangtuanya.

“Mi, pi, aku mau ke makam Gio dulu ya sebelum ke kampus.” Alana menyampaikan kabar tersebut sebelum akhirnya dia menyantap roti bakar buatan Angel.

“Ga pagi banget Lan? Kamu ngampus emangnya jam berapa?” tanya Andreas.

Alana menggeleng pelan, “Engga kok pi, aku juga sekalian mau ketemu Achel. Dia bilang mau mampir ke kedai.”

“Udah satu tahun Gio pergi, kamu ga mau belajar buka hati kamu nak? Mami punya temen, kebetulan anaknya ganteng siapa tahu cocok sama kamu,” jelas Angel. “Mami ga maksa kamu kok, ini kalo kamu mau aja,” sambungnya dengan cepat, agar Alana tidak salah paham.

Bagi Alana tidak ada lelaki lain yang dapat menggantikan Gio di hatinya, walaupun lelaki itu lebih baik, lebih kaya, bahkan lebih tampan dari Gio tapi semuanya tidak akan membuat hati Alana luluh. Alana memilih untuk hidup sebagai wanita karir saja, dia tetap dapat hidup walaupun tidak ada lelaki sebagai pacarnya. Lebih baik membahagiakan kedua orangtuanya, dan menikmati dunia ini bersama temannya saja itu sudah lebih dari cukup.

“Engga mi, aku ga mau. Maaf ya mi, tolong paham ya mi. Mami juga tahu sendiri kan gimana sayangnya aku sama Gio,” tolak Alana.

Senyum terukir di wajah Angel, “Oke nak gapapa, kamu habisin aja ya sarapannya biar semangat jalanin harinya,” titahnya.

***

Setelah mengunjungi makam Gio, sekarang Alana menuju kedai kopinya untuk melihat bagaimana perkembangan kedai kopinya. Belum lama dia mendirikan tempat berkumpul anak muda itu, mungkin ada satu bulan. Itu semua bisa Alana lakukan berkat dukungan dari orang sekitarnya, dan tekat yang besar dari dirinya. Tanpa itu semua mungkin Alana akan terus-terusan terpuruk karena kehilangan orang yang sangat dia sayangi, Gio.

Setiap harinya kedai kopi yang diberi nama Gio’s Coffe itu semakin ramai, banyak anak remaja yang datang ke sana terutama anak sekolah yang duduk di bangku SMA. Alana memperhatikan sekeliling kedai tersebut, mulai dari pagi suasana kedai itu sudah cukup ramai tapi tak seramai sore hari. Jika sore hari sampai ada pengunjung yang tidak kebagian tempat duduk, Alana bersyukur dapat mewujudkan keinginan Gio.

Alana masuk ke ruang kerjanya, di meja kerjanya ada bingkai foto Gio dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, Gio menghadap ke arah kamera seolah tidak ada masalah, senyumannya begitu membuat Alana rindu. Kapan Alana bisa melakukan kegiatannya bersama Gio seperti dulu? Ah itu hanya angan-angannya saja. Kehadiran Rachel secara tiba-tiba membuat Alana kaget, dia sudah hampir menangis tapi segera menormalkan perasaannya supaya tidak kelihatan bersedih.

“Hai bu bos, udah lama kita ga ketemu nih. Oh iya gue mau kasih undangan pernikahan gue sama Mikhe, jangan lupa dateng ya.” Rachel memberikan undangan pernikahannya kepada Alana, dia menaruh di meja.

Alana menatap undangan berwarna biru itu dengan tatapan tak percaya, “Yang bener aja lo? Pake pelet apa lo sampe Mikhe bisa luluhin hati seorang Achel? Gila gue ga percaya si, jangan bilang ini lo aja yang halu,” komentarnya.

“Yeu sembarangan lo ngomong, bener kok ini. Gue udah tahu gimana pengalaman Mikhe waktu sama Rena dia sadboy tapi lucu banget hahaha,” omel Rachel, diakhiri dengan tawanya.

“Oke gue nanti dateng ya, btw mau minum apa? Biar gue buatin,” tawar Alana. “Gratis deh buat lo, tapi hari ini doang nanti-nanti mah bayar ya,” lanjutnya.

Rachel mengacungkan kedua jempolnya semangat. “Pasti dong, gue promosiin juga nanti biar banyak yang tahu kedai lo. Gue mau Americano Coffe aja Lan, tapi agak manis ya kopinya.”

Sesuai pesanan Rachel, kopi datang, dan langsung dinikmati oleh Rachel. Kelihatannya Rachel begitu menyukai kopi buatan Alana barusan. Pertemuan hari ini diakhiri dengan foto bersama kedua sahabat itu. Rachel sudah meninggalkan ruang kerja Alana, sekarang hanya ada Alana saja di ruangannya. Dia tak dapat menahan air matanya lagi, air mata kesedihan, dan air mata haru bercampur menjadi satu berjatuhan membasahi pipi Alana.

Di satu sisi Alana bahagia kedai kopi yang didirikannya semakin maju.

Namun di sisi lain Alana juga sedih Gio tak bisa melihat kesuksesannya.

Proses yang Alana lalui sampai bisa berada di titik ini cukup banyak, dan tak mudah. Alana melewati banyak badai, cobaan, rintangan semuanya dia hadapi berkat bantuan orang sekitarnya. Tapi Alana tidak akan pernah putus asa, sampai dia benar-benar bisa menikmati buah dari kesuksesannya nanti di hari tua. Alana bersyukur mempunyai banyak orang yang selalu menemaninya, mendukung apapun hal yang dilakukannya selagi itu positif.

“Semangat Lan, kita maju terus jangan denger apa kata orang yang jelek.” Alana menyemangati dirinya sendiri.

















Thc

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang