35. Pertemuan Terakhir

68 0 0
                                    

“Ih ngeri banget deh kamu ay,” protes Alana setelah mendengarkan apa yang dibisikan Gio padanya.

Gio mencubit pipi Alana dengan gemas. “Lucu amat si ah! Ayo pulang, udah malem juga.”

Seharian Alana sudah puas menikmati waktu berdua bersama Gio, selama liburan rencananya Alana ingin mengajak teman-temannya untuk berlibur ke Bali, mengajak anggota inti Ravedos juga untuk turut serta dalam liburan mereka. Membayangkannya saja sudah membuat Alana tersenyum sendiri, apalagi jika kenyataan terjadi dalam hidupnya. Bali merupakan pulau yang sangat didambakan Alana untuk dia kunjungi.

Momen liburan bersama teman-temannya di sana mungkin akan menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi Alana, dia sudah mengirim pesan di group chat menanyakan kepada teman-temannya terlebih dahulu apakah mereka setuju atau tidak, setelah mengetahui apa jawabannya maka Alana akan mengatakannya pada Gio. Masalah Angel yang sendirian di rumah, dia akan menitipkan Angel pada tantenya saja.

Mobil Gio sedang berhenti di lampu merah, ada seorang anak kecil yang membersihkan kaca mobil Gio membuat rasa iba di hati Gio muncul ketika melihatnya. Gio memberikan dua lembar uang berwarna hijau kepada anak kecil tersebut, Alana merasa bangga menyaksikannya. Hati Gio ternyata begitu baik kepada anak kecil, Alana mengangkat kedua jempolnya sebagai bukti bahwa sikap Gio tadi merupakan sikap terpuji.

“Ay kuliah nanti kamu mau masuk universitas mana?” tanya Alana di tengah perjalanan mereka menuju kediaman Alana.

Pertanyaan yang sangat Gio hindari dari orang-orang, kehidupannya sudah sangat berubah, dan semakin berubah ketika kondisi Ergo sudah tidak memungkinkan untuk beraktivitas dengan normal. Mau tak mau Gio perlu belajar untuk mengelola perusahaan milik Ergo yang ada di Indonesia, dia akan mengikuti prosesnya saja dari nol. Untuk apa pura-pura bisa langsung berada di posisi yang tinggi tapi kenyataannya malah memberikan hasil yang buruk.

“Aku kerja, ga jadi kuliah by,” jawab Gio, terdengar tidak bersemangat. “Maaf ya by, kamu tahu sendiri sekarang papa aku udah ga mungkin lagi buat kerja,” jelasnya.

Alana mengangguk sekilas, “Jadi kamu kerja ya? Ya udah deh aku juga kerja aja,” putusnya tanpa berpikir panjang.

“Lah kok gitu? Selagi ada peluang buat kuliah, kenapa engga by?” komentar Gio.

“Kamu juga tahu sekarang aku udah ga punya papi lagi ‘kan? Aku ga mau buat tanggungan mami nambah berat cuma buat biayain kuliah aku doang,” tutur Alana.

Gio mengembuskan napasnya kasar, jawaban Alana tak dapat membuatnya berkata-kata. Tak ada percakapan lagi di antara keduanya, Gio fokus menyetir, mengendarai mobilnya cukup cepat sehingga mereka tiba di kediaman Alana tepat waktu sebelum pukul delapan. Angel sudah menantikan kepulangan Alana dengan perasaan was-was, anak gadisnya perlu dijaga dengan ketat supaya tidak masuk ke dalam lingkungan yang kurang baik.

“Akhirnya kamu pulang juga sayang, makasih ya nak Gio udah anterin Alana pulang,” kata Angel, rasanya lega anaknya sudah pulang dengan keadaan selamat.

Gio menyalami punggung tangan Angel terlebih dahulu.“Sama-sama tante, oh iya ini saya bawain makanan juga buat tante dimakan ya tan.”

“Terima kasih nak Gio, ayo masuk dulu sekalian ngobrol-ngobrol!” ajak Angel.

“Kapan-kapan aja deh tan, saya harus nemenin papa di rumah sekalian bantu papa juga, jadi lain kali aja ya tan,” tolak Gio halus.

Mulut Angel membulat membentuk huruf O, “Oh gitu, ya udah kalo gitu hati-hati ya nak pulangnya jangan ngebut-ngebut udah malem bahaya,” pesannya.

“Siap tan, kalo gitu saya pamit dulu assalamualaikum,” pamit Gio.

“Waalaikumsalam.” Angel, dan Alana menjawab bersamaan.

***

Ketika Gio sudah hampir sampai di rumahnya, Vino tiba-tiba meneleponnya mengajak bertemu di café terdekat. Suara Vino kedengarannya seperti sedang menyimpan sesuatu, Gio memutar balikkan mobilnya ke arah berlawanan untuk segera menemui sahabatnya. Kebetulan sekali ketika membagikan nasi kotak tadi pagi sosok Vino tidak turut serta dalam kegiatan itu, Gio baru menyadarinya sekarang.

Gio melihat ponselnya memastikan kembali apakah benar lokasi yang dikirim Vino, melihat lokasi yang dibagikan Vino sesuai dengan tempatnya saat ini, Gio memasukan ponselnya ke saku jaketnya kemudian mencari di mana Vino menunggunya. Ada seorang lelaki yang memakai jaket sama sepertinya, jaket khas anggota Ravedos. Anggukan kepala Gio berikan sebagai jawaban bahwa dia melihat Vino.

Beberapa hidangan tersaji dengan rapi di meja yang sudah ditempati Vino, perasaan Gio mendadak berubah seperti ada yang mengganjal di hatinya, seakan ada yang mengatakan bahwa dia tak dapat bertemu lagi dengan Vino. Tapi Gio berusaha untuk tetap berpikir positif, mungkin saja Vino mengajaknya bertemu hanya karena ingin membicarakan sesuatu yang cukup penting. Gio menaikkan sebelah alisnya seolah meminta Vino untuk segera mengatakan sesuatu.

“Gue suka cewe lo, gimana?” Jawaban yang keluar dari mulut Vino membuat Gio mematung.

Ada rasa cemburu yang besar, kekasihnya disukai oleh temannya sendiri apakah Gio tidak salah dengar?

“Tenang hahaha, gue ga akan rebut cewe lo kok. Justru gue ngajak lo kayak gini karena gue mau pamit, sekalian mau balikin jaket Vedos sama lo.” Vino melepas jaket yang dikenakannya, kemudian memberikan kepada Gio.

Gio mengerutkan keningnya tanda tak paham. “Maksud lo? Vin, lo boleh suka sama Alana walaupun sebenernya gue cemburu si, tapi bukan berarti lo pergi kayak gini dong. Vedos tanpa lo bisa jadi apa? Ga bisa apa-apa Vin, ayolah jangan gini.”

“Engga Gi, keputusan gue udah bulet. Gue mau pindah ke Bali, memulai kehidupan baru di sana, siapa tau juga kalo gue di Bali bisa dapet kerjaan terus angkat derajat orangtua gue,” ujar Vino dengan sangat yakin.

“Kok gini sih, Vin? Lo ga mikir gimana yang lain kalo tahu lo pergi bakal gimana?” protes Gio. “Ayolah Vin, serius deh gue ga marah sama sekali sama lo karena lo suka Alana. But gue akuin lo keren, lo rela mendem perasaan itu dan ga ada niat buat rebut Alana dari gue, lo keren Vin keren banget malah,” pujinya.

Apapun yang Gio minta, tetap tidak akan mengubah keputusan Vino yang sudah bulat untuk menetap di Pulau Dewata. Meskipun sebenarnya berat harus berpisah dengan keluarganya yang tinggal di Jakarta, tapi Vino akan tetap melakukan itu demi memberikan yang terbaik bagi Ibu, dan Ayahnya. Masalah perempuan, Vino yakin jika dia sudah hidup mapan pasti ada perempuan yang datang dengan sendirinya.

“Gue tetep sama keputusan gue, Gi. Bahagia terus dah lo sama Alana oke? Kalo nikah jangan lupa undang gue!” pesan Vino.

Gio memijat pangkal hidungnya pelan, “Kenapa harus gini si Vin? Lo ga inget fungsi temen buat saling bantu? Lo suka sama Alana? Ga masalah asli, gue ga akan cemburu lagi, bahkan lo mau sama Alana silakan Vin asal jangan pergi,” pintanya terus dengan wajah memelas.

Namun tetap saja, permintaannya tak akan mempan sebab keputusan yang Vino buat sudah atas dasar persetujuan keluarga.

Sorry Gi, gue ga bisa. Besok gue pamitan sama anak-anak Vedos kok, sorry banget. Makasih juga ya Gi karena lo udah jadi temen baik gue selama ini, nanti gue bakal sering-sering ke Jakarta kok buat liburan,” ungkap Vino. “Udah ah ayo makan gue udah pesen ini. Harus abis, kalo ga abis lo aja yang bayar,” ancamnya.

Gio memutar kedua bola matanya malas, “Aelah iya dah, gue mah ga bisa apa-apa ga akan didengar juga kalo gue mohon-mohon sama orang keras kepala mah,” sindirnya tapi tak dipedulikan oleh Vino.














Tbc

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang