43. Penyerangan Kembali

61 1 0
                                    

Bulan berganti bulan, berlalu dengan sangat cepat. Sebentar lagi pernikahan Kay dan Vano akan memasukki usia satu tahun. Dan kandungan Kay juga sudah menginjak usia sembilan bulan, itu tandanya sebentar lagi anak Kay dan Vano akan lahir ke dunia. Perut Kay semakin membesar, hari ini rencananya dia akan mengajak teman-temannya beserta teman-teman Vano untuk berkumpul bersama makan-makan di kediamannya sebelum lahiran.

Minggu siang ini cuaca cukup panas, matahari bersinar cukup terik. Kay menunggu teman-temannya yang sebentar lagi akan datang sembari memasak beberapa makanan dibantu oleh Vano yang kelihatan begitu bersemangat. Meja makan kini sudah tampak cantik, makanan dan minuman sudah dengan rapi berjejer di sana. Kedengaran suara bel rumah di pencet beberapa kali, suara kehebohan terdengar dari luar.

Senyuman terpancar jelas di wajah Kay, bukan dia yang membukakan pintu melainkan Vano. Lelaki itu selalu posesif semenjak Kay hamil. Tapi tujuan Vano seperti itu baik, agar anaknya bisa lahir ke dunia dengan selamat dan istrinya tetap sehat. Kay disambut oleh teman-temannya, mereka memeluk Kay dan mencubit pipi Kay gemas. Rasanya sangat rindu karena sudah cukup lama mereka tidak bertemu, berkumpul seperti ini.

“Kay! Ya ampun gue kangen banget sama lo!” pekik Alana.

“Ih maaf ya kita jarang ketemu sama lo, kita sibuk banget. Ya namanya juga mau ujian wajarin ya,” papar Kalista.

Di wajah Kay seketika tidak ada senyuman, jawaban Kalista membuatnya merasa iri. Kay tidak bisa mewujudkan keinginan maminya dulu yang memintanya untuk menjadi seorang dokter. Suasana berubah menjadi hening, Jihan memberi kode melalui gerak-gerik bola matanya kepada Kalista agar gadis itu meminta maaf atas jawabannya yang tidak mengenakkan hati Kay. Tangan Kalista terulur untuk mengusap pundak Kay.

“Maaf Kay, gue ga bermaksud buat lo sedih,” ungkap Kalista dengan wajah merasa bersalahnya.

Kay menggelengkan kepalanya cepat. “Gapapa kok, gue aja yang baperan. Udah lah ayo makan, itu gue masak masa kalian ga mau makan sih? Udah lama juga lho kita ga kumpul kayak gini, terakhir gue sama Alana doang jalan-jalan ke kebun teh.”

“Tahu tuh, kapan lagi coba kita kayak gini? Siapa tahu aja nantu-nanti mah gua ga bisa ikut karena udah ga ada,” jelas Vano tiba-tiba.

“Van! Kamu ngomong apa sih?” tegur Kay.

“Parah si bos, kayak udah mau mati aja tahu ga?” ejek Moren.

Prince menoyor kepala Moren, “Omongan lo juga dijaga dodol! Nanti Kay sedih pea!” komentarnya.

Perasaan Kay mendadak tidak enak, seperti ada yang mengganjal di hatinya. Dia takut Vano akan meninggalkannya, Kay tidak akan siap jika harus hidup sendirian dan mengurus anaknya seorang diri. Tanpa Vano, hidupnya terasa hampa. Hanya Vano yang membuat hidupnya selama ini berwarna, Kay menggigit bibir bawahnya menahan supaya tangisannya tidak meledak. Hari ini seharusnya dia bisa tertawa lepas bersama teman-temannya.

“Gila ya lo, Van. Kay nangis, gimana sih?” omel Rachel.

Vano menatap Kay bersalah, lalu menghampiri istrinya itu dan duduk di sampingnya. Vano merentangkan tangannya, Kay langsung berhambur ke dalam dekapan Vano.

“Bub jangan pergi …” lirih Kay.

“Iya engga bub, maaf ya kalo aku ada salah ngomong,” jawab Vano lembut.

“Bapa, ibu udah dong mesra-mesraannya. Kita mau makan nih,” goda Rena.

Kay segera melepaskan pelukannya dari tubuh Vano, dan menghapus air matanya.

“M-maaf, ayo kalo gitu kita makan. Ambil makanan yang kalian suka ya,” titah Kay.

Mikael menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Aduh terima kasih banyak, gue doain semoga anak lo bisa kayak bapanya ya, ganteng, romantis, udah lah sempurna pokoknya,” pujinya.

“Bisa aja lo, bilang mau apa? Biar gua turutin.” Vano melipat kedua tangannya di depan dada.

“Mau warisan dari lo katanya,” jawab Vino.

Tawa di ruangan tersebut pecah, jika sedang berkumpul seperti ini pasti ada saja topik yang dibahas dan mengundang tawa. Vano melayangkan tatapan tajam kepada Vino, seharusnya warisan Vano diberikan kepada anaknya nanti. Ucapan Vano yang membuat Kay sedih tadi, kini perlahan mulai Kay lupakan karena candaan demi candaan yang dilontarkan teman-temannya, namun mengapa rasa takut itu masih tetap ada?

***

“Kay, kamu tunggu sini sama Alana oke? Aku mau nyerang balik orang yang udah buat kamu luka.” Vano mengecup kening Kay.

Kay menggelengkan kepalanya cepat, “Jangan bub, aku gapapa. Ini cuma luka kecil, aku ga mau kamu kenapa-kenapa,” larangnya.

“Engga bub, aku harus balesin dendam aku sama mereka. Aku tahu ini pasti ulah geng Black Dove, kamu tenang aja aku ga akan kenapa-kenapa, anak-anak Vedos pasti jagain aku, oke? Tunggu bentar aja aku pasti balik,” nasehat Vano. “I love you,” bisiknya.

“Vano! Jangan pergi!” teriak Kay.

Alana mendekat tubuh Kay erat-erat, tadi setelah acara kumpul selesai bersama teman-temannya yang lain tiba-tiba saja ada yang melempar batu berukuran sedang ke rumah Kay dan Vano. Batu tersebut tepat mengenai kening Kay sehingga menimbulkan luka di sana. Vano sudah terlanjur emosi sehingga dia tak sabaran ingin segera menyerang anak-anak Black Dove. Pikiran Kay benar-benar kalut sekarang.

Tangis Kay pecah, dia tidak dapat tenang sejak tadi. Masih baik ada Alana yang senantiasa berada di sampingnya, meskipun hanya Alana tapi setidaknya ada yang bisa Kay andalkan jika dia memerlukan sesuatu. Alana mengusap rambut Kay, tanpa sadar dia ikut menangis. Dia juga takut terjadi sesuatu menimpa Gio. Keduanya sama-sama menangis, tapi Alana berusaha untuk menghentikan tangisnya agar bisa menguatkan Kay.

Kay melonggarkan tubuhnya dari dekapan Alana, matanya berkaca-kaca, wajahnya sembab. Air matanya tidak dapat berhenti mengalir. Dadanya terasa sesak, tidak sanggup membayangkan bagaimana jika dia hidup tanpa Vano. Alana mengambilkan tissue dan segelas air hangat untuk Kay minum. Dering ponsel Alana mengalihkan perhatian Kay menuju ponsel yang terletak di atas meja itu, Mikael yang meneleponnya.

“H-halo, ada apa Mik? Cepetan ngomong jangan buat gue sakit perut!” titah Alana dengan tak sabaran.

“Lan, Gio kena tembak. V-vano kena tusuk, tapi tolong banget jangan kasih tau ini sama Kay,” jelas Mikael dengan suara bergetar.

Ponsel yang ada di genggaman Alana seketika jatuh, Kay yang melihat itu semakin merasa tidak enak. Dia memanggil nama Mikael tapi tidak ada suara Mikael yang menjawabnya, lelaki itu malah mematikan sambungan telepon membuat Kay semakin merasa ada sesuatu yang terjadi menimpa belahan jiwanya, Vano. Air mata Kay kembali mengalir cukup deras, dia menatap Alana sembari menangis sesenggukkan.

“K-Kay … Gio, Vano … Maaf …” Alana tidak sanggup mengatakan semuanya.

“Ada apa, Lan? Bilang sama gue,” tanya Kay dengan lemas.

Alana memeluk Kay kembali, menumpahkan tangisannya. “Janji sama gue, jangan drop ya? Jangan ampe ngaruh ke bayi lo.”

“Tapi kenapa dulu!? Gue butuh jawaban! Vano pasti baik-baik aja ‘kan?” tebak Kay.

Bahkan untuk menjelaskan semua itu rasanya Alana tidak sanggup.

“Lan, jawab! Gue bakal marah kalo lo gak jawab!” paksa Kay.

“Vano ditusuk sama anak Black Dove Kay, Gio juga kena tembak Kay. Gue ga sanggup bilang itu sama lo,” jawab Alana dengan suara bergetar.

Kabar tersebut bagaikan sambaran petir bagi Kay, tangisnya berhenti. Kedua matanya membulat dan menatap langit-langit rumahnya, dia mengusap perutnya yang buncit itu. Tidak pantaskah Kay bahagia sebentar saja? Sekarang untuk bernafas saja sepertinya Kay tidak bisa, oksigen seolah-olah hilang dari bumi. Perutnya juga terasa ngilu, pandangan Kay memburam tak lama kemudian dia pingsan, Alana panik.

“Plis, Kay bangun! Gue harus gimana?” monolog Alana.

Semoga, Vano dan Gio takkan gugur.















Tbc

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang