11. Ravedos Terancam

120 5 0
                                    

“Ay!” seru Alana.

Sesuai perintah Alana, Gio menjemputnya ke kediaman Jihan. Di sana tampak Alana sudah menunggunya di halaman rumah Jihan dengan menggunakkan pakaian simplenya, hoodie crop putih serta celana streat hitam panjang. Alana tersenyum lega kala melihat kedatangan Gio dengan keadaan selamat dan Gio tersenyum ke arahnya. Di depan teman-temannya Alana memeluk Gio erat, Alana tidak akan membiarkan Gio terluka.

Teman-teman Alana memastikan terlebih dahulu bahwa Alana meninggalkan kediaman Jihan bersama Gio dengan selamat, sepanjang perjalanan Alana ingin mengatakan apa yang telah terjadi tadi ketika berada di kediaman Jihan, namun bibirnya terus terkatup dengan rapat, sulit mengutarakan semuanya. Takut jika Gio tahu maka lelaki itu akan kepikiran dengan ancaman yang menimpa dirinya. Alana mendadak gelisah di motor Gio, diam-diam Gio memperhatikannya melalui spion motornya.

Gio mengarahkan motornya tidak langsung ke rumah Alana, dia membawanya terlebih dahulu ke sebuah restaurant terdekat. Dari raut wajah Alana yang dia lihat seperti ada yang sedang disembunyikan oleh gadisnya. Alana mengerutkan keningnya saat melihat di mana motor Gio berhenti, Gio memang tahu bagaimana cara untuk meluluhkan hati Alana agar gadis itu mau mengatakan apa yang dipikirkannya.

“Kenapa ke sini?” tanya Alana.

“Isi perut dulu, udah ayo sekalian kita ngobrol-ngobrol dulu!” Gio menggenggam jemari Alana dan berjalan masuk ke restaurant.

Alana menggigit bibir bawahnya pelan. “Kayanya ga usah deh kita makan di sini, nanti kita ngobrol aja di rumah aku ya ay?”

“Engga, udah lah ayo jangan nolak!” paksa Gio.

Lebih baik Alana menceritakan semuanya kepada Gio, dalam keadaan mereka sama-sama tenang di restaurant. Gio memilih tempat duduk yang berada di lantai dua, supaya bisa sembari memandang ke arah jalanan Kota Jakarta yang padat. Gio memesan makanan dan minuman terlebih dahulu, sementara Alana sendirian di meja, memainkan ponselnya untuk memberi kabar kepada Angel bahwa dirinya sedang makan malam bersama Gio.

“Pasta dan es jeruk kesukaan kamu by, right?” tebak Gio.

“Bener ay,” jawab Alana cepat. “Jadi tujuan kamu ngajak aku makan di sini apa ay?” lanjutnya.

Gio tersenyum tipis, pandangannya tak lepas dari wajah Alana, “Harusnya aku yang tanya kamu, ada pikiran apa? Muka kamu waktu di motor tadi keliatannya kayak mikirin sesuatu. Ga mau cerita kah sama aku?” terangnya.

“Beneran deh, aku ga lagi pikirin apa-apa ay.” Alana mengangkat jari telunjuk dan jari tengah tangannya membentuk huruf V.

“Aku tahu kamu lagi sembunyiin sesuatu, beneran ga mau cerita? Bagi beban kamu sama aku, siapa tahu aku bisa bantu kamu by,” tawar Gio.

Mata Alana terpejam beberapa saat, memang jika tidak diceritakan kepada Gio rasanya ada yang mengganjal di hati Alana. Gerak-gerik Alana diperhatikan dengan serius oleh Gio, lelaki itu kelihatannya sudah tahu jika Alana bimbang untuk mengatakan apa yang mengganjal hatinya. Alana memainkan jemarinya dan menatap Gio ragu, melalui gerakan kedua matanya Gio memberi jawaban agar Alana mau bercerita.

“Oke, aku cerita. Anu, tadi ada yang kirim teror ke rumah Jihan isinya foto kamu, ay. Foto kamu di bagian matanya ditusuk pake pisau kecil gitu, aku takut kamu kenapa-kenapa tahu ay, di kirimnya juga sama Puteri Merah lagi,” ungkap Alana.

“Sialan! Siapa si sebenernya itu? Aku penasaran!” umpat Gio.

Alana menggenggam jemari Gio dan mengusapnya lembut. “Tenang ay, jangan emosi, itu makanya aku ga mau cerita sama kamu takut kamu emosi kayak gini. Kita makan dulu aja ya, tapi jangan sambil emosi ga enak makannya nanti.”

JJJ

Hingga tengah malam Gio masih belum bisa tidur, dia memikirkan siapa itu Puteri Merah yang akhir-akhir ini selalu menerornya. Gio berdiri di balkon, sembari berjalan mondar-mandir dan mengetuk-ngetuk dagunya. Tiba-tiba saja pikiran Gio tertuju kepada anak-anak Black Dove yang dulu selalu menyerangnya. Apa mungkin salah satu dari mereka yang melakukan itu? Tapi sepertinya tidak mungkin, sebab hubungan antara kedua geng motor itu belakangan ini sudah cukup damai.

Hawa kantuk mulai menyerang Gio, dia memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan tidur. Gio tertidur cukup lelap hingga tak mendengar suara orang yang memasukki rumahnya. Kira-kira lima orang lelaki masuk ke rumah Gio dengan hati-hati agar tidak kedengaran. Mereka mencari bahan yang dapat digunakkan untuk menghancurkan anak-anak Ravedos, agar mereka saling membenci dan tidak menjadi saingan bagi geng motor Black Dove lagi.

Salah satu anggota Black Dove masuk ke kamar Gio, samar-samar Gio mendengarnya. Dia mengerjapkan kedua matanya lalu dapat melihat dengan jelas siapa yang masuk ke rumahnya, postur tubung Sang Ketua geng motor Black Dove, Axel benar-benar Gio kenali. Gio memukul punggung Axel cukup kuat membuat Axel tersungkur ke lantai, sempat terjadi adu jotos antara Giod dan Axel hingga akhirnya Gio kalah telak, teman-teman Axel membantu memukulinya.

“Gue harus kabarin anak-anak,” gumam Gio.

Gio mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu temannya, Vino.

“Halo? Ada apa sih elah, malem nih gue ngantuk anjay,” keluh Vino.

Napas Gio terengah-engah, “Rumah gue, kemasukan anak-anak Black Dove. Buruan hubungin yang lain!” jelasnya.

“Hah!? Oke tunggu otw!”

Sambungan telepon dimatikan secara sepihak Vino, dia segera menghubungi teman-temannya yang lain termasuk Vano. Gio menantikan kedatangan teman-temannya di kamar, tubuhnya sangat lemas, wajahnya memar dan hidungnya mengeluarkan sedikit darah. Akhirnya kedengaran suara kedatangan teman-temannya setelah menunggu kurang lebih dua puluh menit, mereka memanggil-manggil nama Gio.

“Gue di kamar!” teriak Gio.

“Alhamdulillah temen gue gapapa, ada yang sakit ga? Atau mau apa lo? Gue buatin minum aja ya,” tawar Moren.

Gio memutar kedua bola matanya malas. “Terserah lo aja lah.”

“Gimana keadaan lo? Anjir babak belur gini lah! Kurang ajar emang mereka! Gue duga pasti mereka juga yang jadi pelaku kebakaran markas kita! Ga salah lagi! Bangsat emang dah,” maki Vano.

“Tenang Van, intinya sekarang kita obatin dulu memar di muka Gio,” nasehat Prince.

Mereka semua fokus untuk mengobati luka memar Gio terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka membahas apa maksud anak-anak Black Dove kembali berulah, padahal mereka tidak ada masalah apa-apa lagi dengan anak-anak bringas itu. Gio menyandarkan punggungnya di sofa, sementara teman-temannya yang lain sibuk membantu membereskan rumahnya yang tadi diacak-acak oleh anak-anak Black Dove.

“Kayanya mereka mau cari rahasia yang penting tentang Vedos deh,” tebak Mikael.

“Tahu dari mana lo?” tanya Vano yang kaget mendengar pernyataan Mikael.

“Ya emang bener? Buktinya barang-barang berharga punya Gio masih ada.” Moren datang dari dapur membawakan minuman untuk mereka semua. “Jangan lupa bayar ya, pake makanan aja gapapa soalnya gue buatin itu pake tenaga,” sambungnya.

Vino menoyor kepala Moren, “Sialan lo, lagi mode serius juga masih sempet-sempetnya bercanda,” umpatnya.

“Kayanya kita harus bermalam di sini dah, kasian Gio takut butuh apa-apa dia,” ucap Vano.

“Ga usah, Van. Kalian tenang aja, pulang aja gapapa, gue bisa handle sendiri,” ungkap Gio.

Kira-kira hingga pukul dua malam mereka menemani Gio di rumahnya, setelah memastikan rumah Gio dan daerah sekitarnya benar-benar aman, mereka pulang ke rumah masing-masing beriringan. Sekarang hanya ada Gio sendiri di rumahnya, dia tidak bisa tidur tenang karena masih sedikit trauma dengan kejadian yang menimpanya tadi. Gio berbaring di kamarnya dan menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan lurus.

“Andai ada papa sama mama, pasti mereka yang lindungin gue.” Gio mengembuskan napasnya kasar, tangannya dia jadikan sebagai bantalan kepalanya dan mulai memejamkan matanya.

Posessive Boyfriend [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang