How could it be?

33 10 0
                                    

Tangguh mulai mengemudikan mobil bergaya klasik itu sesuai dengan rute yang telah diberi tahu Galuh. Tidak ada percakapan sepanjang jalan. Galuh hanya terdiam. Pikirannya melalang buana melihat pepohonan rindang di pinggir jalan. Sesekali Tangguh melirikkan pandangannya ke arah gadis itu.

Menurutnya, gaya busana yang dikenakan Galuh terlalu tua dan ketinggalan zaman. Gaya busana yang terbilang sedikit aneh karena gadis itu menggunakan kain seperti cadar tapi ia tidak mengenakan jilbab. Lagi-lagi, Tangguh tak mau ambil pusing, ia berpikir setiap orang memiliki selera fashion masing-masing. Tatanan kota itu berhasil mencuri perhatian Tangguh. Kota yang bergaya vintage dan klasik serta pepohonan rindang amat menyejukkan matanya.

Sesampainya di toko kue, mereka berdua masuk ke dalam. Keduanya mulai melihat-lihat berbagai kue dan roti cantik yang terpajang. Mata Galuh tertuju pada satu kue yang berlapis krim putih yang dipadukan dengan krim berwarna biru muda.

"Apa pendapatmu tentang kue itu?" Galuh menunjuk kue yang berhasil menarik perhatiannya.

Tangguh melirik kue yang ditunjuk Galuh. "Bagus. Aku suka perpaduan warnanya. Biru dan putih. Kalau menurutku, biru itu sejuk, damai, dan putih itu tulus. Apalagi rasanya, pasti enak!"

Penjelasan dari Tangguh membuat Galuh yakin dengan pilihan kue itu."You have a good taste dude!"

"Mbak, mau yang ini ya," kata Galuh kepada pemilik toko.

Kruuk...kruuk...kruuk...

Suara perut laki-laki itu berbunyi. Galuh menoleh ke arah Tangguh yang memegangi perutnya.

"Astaga, kau lapar ya?" tanya Galuh sembari tersenyum.

Tangguh menyunggingkan senyuman. "Sepertinya iya.," Jawab Tangguh sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal untuk mengalihkan malu yang tengah ia rasakan.

"Setelah ini, aku akan membawamu ke kedai bakmi terenak di kota ini. Aku yakin kau pasti suka," cakap Galuh.

Mereka berdua keluar dari toko dan berjalan kaki menyusuri bahu jalanan setelah membayar kue itu. Berselang dua menit berjalan, langkah mereka terhenti di sebuah kedai bakmi. Mereka masuk dan memesan menu serta melakukan pembayaran. Tak lama menunggu, pesanan yang direkomendasikan Galuh untuk Tangguh tiba. Pelayan kedai itu meletakkan semangkuk bakmi, semangkuk kecil kuah kaldu dengan beberapa bakso di dalamnya, serta segelas es jeruk yang segar di meja mereka berdua.

"Kamu yakin tidak mau makan?'' Tanya Tangguh sembari menuang kuah kaldu pada mangkuk mie.

Galuh menggelengkan kepala. "Tidak. Kau saja."

"Selamat makan ya. Terimakasih, sudah mengajakku ke sini." Tangguh melahap bakmi itu dengan cepat. Ia benar-benar lapar. Perpaduan mie kenyal dengan kaldu ayam serta beberapa pentol bakso ikan membuat bakmi itu amat lezat. Ia setuju dengan pendapat Galuh bahwa bakmi ini sangat enak. Tak butuh waktu lama, seporsi bakmi berhasil laki-laki itu habiskan dalam waktu kurang dari lima menit.

"Bakminya enak sekali. Aku suka," ujar Tangguh.

"Aku tau bakmi ini enak dari Kakek. Ia sangat menyukai bakmi di sini. Oh iya, Namaku Galuh. Galuh Naraya." Galuh mengulurkan tangannya.

Dengan semangat, Tangguh menjabat tangan itu dan memperkenalkan namanya. "Tangguh Auriga."

"Nama yang bagus!" Kata Galuh. "Sekarang bagaimana, kau bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Tangguh mengingat-ingat apa yang telah menimpanya. "Seingatku, aku berada di pinggir lautan yang sedang begemuruh. Aku disapu ombak, lalu aku tenggelam dan saat itu aku mendengar alunan piano yang lembut. Aku mencoba membuka mata, tiba-tiba aku sudah berada di kamar rumahmu. Tunggu sebentar─" Tangguh merongoh kantung celana hitam yang ia kenakan lalu mengeluarkan ponsel miliknya. Sialnya, daya baterai ponsel itu habis. "Sekarang tanggal berapa? Aku harus menemui dosen pembimbing skripsiku. Sudah lama aku menghilang tanpa mengabari beliau."

"26 Mei 1970," jawab Galuh.

Mata Tangguh terbelalak mendengar jawaban itu. "Bercandamu kelewatan Mbak! Disesuaikan kalau mau membohongi orang Mbak, Mbak."

"Periksa saja kalender itu. Jangan bilang kau amnesia. Masa dengan tahun saja kau bisa lupa?" Galuh menunjuk kalender yang terpajang di sudut kedai. Tangguh beranjak dari tempat duduknya dan melangkahkan kaki mendekati kalender itu. Ia membalik-balik kalender tersebut. Ia heran dengan kalender yang terpajang. Tahun 1970. Ia mengacak-acak rambut bagian depannya.

Tangguh menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Ia berpikir kalender tahun 1970 itu sengaja dipajang, hingga ia mulai menyadari bahwasannya gaya busana, tata kota dan bahasa yang digunakan oleh orang-orang di sini terbilang baku. Ia berkeringat cemas.

Apa bener gue terdampar di tahun 1970? ucap Tangguh dalam hati.

Pertanyaan itu kini muncul dan memenuhi kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa masuk ke tahun 1970? Sedangkan ia hidup di tahun 2015? Tangguh memegang tangan Galuh dan membawanya keluar dari kedai itu.

"Ada apa denganmu Tangguh? Ada yang salah dari Bakmi yang baru saja kau habiskan? Apa kau ada alergi makanan?"

"Galuh...Terserah kau mau percaya atau tidak, yang jelas ini tidak masuk akal. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Tangguh mengelah napas panjang. "Mulai detik ini aku akan bicara dalam bahasa formal. Aku datang dari masa depan! Aku seorang laki-laki yang hidup di tahun 2015!"

Galuh mengerutkan keningnya. Ia berusaha mencerna apa yang baru saja didengar. "Sepertinya kau mengalami masalah pada otakmu. Kurasa kau butuh Dokter Diaz! Dia akan menolongmu dan mungkin akan mereferensikan beberapa Psikiater atau Neurolog yang bisa mengobatimu!"

"Aku tidak memiliki masalah otak! Aku tidak ngelantur, aku juga tidak sedang berhalusinasi." Tangguh menyodorkan ponselnya yang tergeletak diatas meja.

"Ini bukti bahwa aku dari tahun 2015! Di tahun itu semua orang bergantung pada benda ini. Dengan ini kau bisa melakukan panggilan dan melihat wajah orang yang kau telpon. Kau bisa berfoto, mendengarkan musik, melihat video, dan kau juga bisa belanja menggunakan ponsel pintar ini. Ini smartphone."

Galuh mengela napas. "I don't believe it."

"Apa kau tidak menyadari kalau gaya busana yang kukenakan berbeda dengan laki-laki di sini? Lihat aku!"

Galuh mulai melirik laki-laki itu. Ia memperhatikan setiap jengkal pakaian yang dikenakan oleh Tangguh. Setelah beberapa detik barulah ia tersadar bahwasanya Tangguh memiliki gaya busana yang berbeda dengan laki-laki lainnya. Tangguh mengenakan kemeja hitam slimfit dipadukan dengan celana angkle pants berwarna krem dan sepatu kets putih.

"See? Mana ada laki-laki yang mengenakan angkle pants di tahun ini?"

"How did you come here? How could it be?" Tanya Galuh penasaran.

"Itu yang aku tidak paham. Itu yang jadi pertanyaan besar sekarang. Aku terdampar di masa lalu dan aku tidak tahu apa yang membuat aku datang ke zaman yang bahkan aku saja belum lahir," ungkap Tangguh.

"Ini aneh. Aku sebenarnya tidak mempercayai hal ini, tapi setelah melihat gelagatmu, pakaianmu, dan juga smartphone itu...Semua pembuktian yang kau tunjukkan mendukung argumentasimu. Kau tenang dulu, tidak usah panik ya...Yang jelas, kita harus rahasiakan ini pada semua asisten rumahku supaya tak menjadi runyam. Untuk sementara waktu, kau bisa tinggal di rumahku. Kau bisa menjadi asisten pribadiku."

Tangguh berpikir beberapa detik. Saat ini ia tak punya tujuan serta arah. Ia dalam kebingungan yang luar biasa. Tanpa pikir panjang, Tangguh menganggukkan kepalanya, mengingat ia harus bertahan di tahun 1970 ini.  "Baiklah. Aku akan bekerja sebagai asistenmu sampai aku tahu caranya pulang ke tahun 2015," tegasnya setuju dengan penawaran itu.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang