The alarm

26 8 0
                                    

Malam kembali datang. Malam yang menyebar dingin dan mengistirahatkan sebagian orang dari lelahnya dunia, termasuk Tangguh. Malam ini ia merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Tidurnya kali ini tak nyaman karena gelisah. Ia berusaha membuka mata untuk mengakhiri tidurn itu. Setelah berhasil membuka mata, Tangguh terkejut bukan kepalang ketika mendapati dirinya tengah terbaring di sebuah ruangan yang memiliki desain seperti kamar rumah sakit.

Tangguh melirik tangan kanannya yang kini terpasang infus. Ia juga mendapati jari-jari tangan kiri terpasang beberapa alat medis yang terhubung ke layar monitor. Keringat mengucur membasahi wajah laki-laki itu. Semua badannya terasa sakit digerakkan. Dalam kebigungan ia bertanya-tanya apa yang terjadi saat ini.

Tangguh melihat kedua pembantunya yakni Bi Inah dan Pak Suparman yang sedang tertidur di sofa ruangan itu. Ia juga melihat seorang wanita paruh baya terlelap di sebuah kursi dekat dengan bed nya. Wanita itu memiliki wajah yang mirip dengan wanita yang sudah lama ia rindukan, yaitu ibunya.

Jantungnya berdetak kencang bahkan dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. Ia kesulitan memanggil orang-orang yang ada di ruangan itu. Ia ingin membangunkan mereka untuk meminta pertolongan. Hal itu amat sulit dilakukan bahkan menggerakkan jari-jarinya saja sangat susah. Ia menutup kembali matanya dan merapalkan kalimat: Aku harus bangun! Ini hanya mimpi buruk!

Tangguh kembali membuka mata dan berhasil terjaga dari tidurnya. Dengan spontan ia langsung bangun dan duduk di tempat tidur. Napasnya tersengal-sengal. Keringat mengucur deras membasahi wajahnya. Ia baru saja mengalami mimpi buruk yang amat menakutkan. Tangguh melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit dini hari. Ia memutuskan untuk mencuci muka dan keluar dari kamar mencari angin segar. Ia mengambil beberapa permen yang tersedia di setiap sudut ruangan untuk dikonsumsi. Permen itu menjadi alternatif baginya agar tidak merokok. Galuh yang menyediakan semua permen-permen itu untuk membantu Tangguh meninggalkan kebiasaan merokoknya.

Pandangannya tertuju pada ruang musik yang pintunya kini terbuka. Dari ruangan itu terdengar alunan piano yang menenangkan. Sepertinya Galuh tengah memainkan musik lullaby agar semua penghuni rumah bisa tidur dengan tenang. Ia melangkahkan kaki masuk dan berdiri di belakang Galuh yang sedang memainkan alat instrumen itu.

Jari-jemari Galuh terhenti saat mengetahui Tangguh berdiri di belakangnya. Ia menoleh ke belakang dengan spontan "Suara pianoku membangunkanmu ya?" Tanya Galuh.

"Tidak. Aku hanya terbagun karena mimpi yang aneh," ujar Tangguh. Ia mengambil kursi dan duduk di samping piano itu.

"Mimpi apa?" Tanya Galuh penasaran.

"Aku bermimpi sedang berada di rumah sakit. Dalam mimpi itu aku melihat dua pembantuku dan almarhum ibuku. Tapi aku tidak yakin itu ibuku."

"Mungkin kau merindukan mereka. Mereka yang kau tinggalkan."

Tangguh melirikkan pandangannya pada tuts piano dan terdiam sejenak. Ia kemudian menundukkan kepala lalu tersenyum. "Aku tidak yakin kalau aku dirindukan."

Ucapan Tangguh mengusik Galuh. Raut muka gadis itu tampak serius. "Mengapa bicara seperti itu?" Tanyanya.

Tangguh mendongakkan kepala dan menatap Galuh. "Lupakan saja. Kalau kamu? Mengapa belum tidur di malam yang selarut ini?" Tanya Tangguh yang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Entahlah. Aku merasa susah sekali untuk tidur belakangan ini. Jadi aku memutuskan memainkan beberapa melodi lullaby agar tak terlalu mengganggu yang lain. Kau mau memainkan piano ini untukku? Cobalah. Kau boleh memainkannya."

Tangguh menggeser kursinya tepat di samping Galuh. Ia mulai memainkan piano itu dengan penuh konsentrasi. Alunan piano itu membuat Galuh berdecak kagum. Tangguh amat lihai memainkan alat musik itu. Sebuah nada yang indah dan menenangkan suasana di malam hari. Selesai memainkan piano itu, Galuh bertepuk tangan.

"Apa judul musik yang kau mainkan barusan? Aku belum pernah mendengarnya."

"Itu adalah salah satu karya yang kuciptakan sendiri. Judulnya adalah Sparkling.

Galuh berdecak kagum mendengar jawaban Tangguh. "Sound's good. Mainkan lagi!" Pinta Galuh.

Alunan piano itu mulai terdengar kembali. Tangguh sangat berkonsentrasi memainkannya. Jari-jarinya amat lincah berseluncuran di atas tuts piano itu. Melihat kepiawaian Tangguh, Galuh semakin yakin bahwa laki-laki yang duduk di sampingnya itu benar-benar berbakat dalam bidang musik. Malam semakin larut, membuat Galuh merasakan kantuk yang mulai menyerang. Ia dan Tangguh sepakat untuk menuju kamar mereka masing-masing dan beristirahat.

***

Di suatu tempat, 2015.

Sebuah mobil taksi berhenti di depan rumah yang memiliki desain American Style berwarna putih gading. Ambarleka, namanya. Wanita paruh baya itu turun dari mobil dan mulai memasuki pekarangan rumah. Dirinya menekan bel yang ada di pinggir pintu dan tak lama kemudian, seorang wanita yang seumuran dengannya membuka pintu tersebut.

Ambarleka mengukir senyum. Berbeda dengan dirinya, wanita itu hanya merespon senyum Ambarleka dengan wajah yang datar. Sepertinya ia sedang ketakutan namun ia tak ingin menunjukkannya kepada Ambarleka. Ia mempersilahkan Ambarleka masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

"It's been a while. Apa kabar Tyas?" Tanya Ambarleka.

"Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja. Oh iya, aku kehilangan dua pembantuku. Kebetulan mereka suami istri. Jadi aku tidak bisa menyuguhkan teh untukmu. By the way, apa yang membuatmu jauh-jauh datang kemari?"

"Aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu. Apakah kejadian yang menimpa Tangguh ada hubungannya dengan kalian?" tanya Ambarleka dengan serius.

Tyas menyunggingkan senyumnya. "Tangguh, di mana dia? Kau terlihat amat mencemaskan anak itu. Bukankah harusnya aku yang mencemaskan keadaan Tangguh? Kamu hanya bibinya. Menurutku tindakanmu ini agak sedikit berlebihan."

"Mesikpun aku hanya bibinya, tapi aku saudara kembar ibunya. Di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama denganku. Kau harus ingat bahwasannya kau adalah ibu sambung yang tak memiliki ikatan darah!" jelas Ambarleka.

Senyuman Tyas mulai meredup. "Iya. Aku ingat itu. Jadi, di mana dia sekarang? Aku ingin melihat Tangguh."

"Kepedulianmu palsu! Aku amat yakin bahwa kau adalah dalang dari semua ini. Jika ini karena harta mendiang ayah Tangguh, kau amat keterlaluan! Kupastikan kau dan anakmu membayar apa yang sudah ia lakukan."

"Tuduhanmu tak mendasar! Tidak ada bukti yang mendukung argumentasimu!" Tyas tersenyum licik.

"Just wait and see," ucap Ambarleka.

Ambarleka berdiri dari tempat duduknya. Ia meninggalkan rumah itu sambil menahan amarah yang meletup-letup di dasar jiwa. Tyas menutup kembali pintu rumah itu dan mencari Richard, anaknya. Ia melangkahkan kaki ke kamar anak laki-lakinya. Setibanya di sana, ia memergoki Richard sedang mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

Emosinya memuncak. Ia melayangkan tamparan di pipi anaknya dengan beringas.

"Apa-apaan ini Ma?" Richard terkejut dengan perlakuakn ibunya.

"Harusnya, malam itu kau habisi Tangguh! Bukannya itu yang Mama minta? Habisi dia! Bunuh dia seperti kamu membunuh Akmal!" Suara Tyas meninggi.

"Aku ingin sekali membunuhnya malam itu Ma, tapi pembantu sialan itu memergoki aku dan di belakang pembantu itu, aku melihat ada Akmal yang memandangiku dengan marah!" Cakap Richard.

Tyas kembali menampar anaknya. "Kau tahu, Tangguh itu saksi hidup yang harus dibunuh! Kau mau mendekam di penjara jika dia buka mulut, hah? Akmal sudah mati! Kau yang membunuhnya. Apa yang kau lihat itu adalah pengaruh dari barang haram yang kau pakai! Jadi stop!"

"Mama kenapa sih? Bukannya Tangguh sudah menghilang? Kan bagus! Gak usah capek-capek buang tenaga buat melenyapkan dia."

"Dia tidak menghilang sayang! Sekarang dia berada di bawah perlindungan tantenya! Dan kau tahu, tantenya sedang menyembunyikan Tangguh saat ini. Kita harus membunuh Tangguh secepatnya. Masalah ini harus diselesaikan sebelum terlambat!" ketus Tyas dengan licik.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang