A peace to greet the days without getting rilled up

23 6 0
                                    

"Mas Tangguh yakin Bapak gak usah ikut?" Tanya Pak Suparman mengemudikan mobil itu pelan.

"Nggak usah Pak. Tidak apa-apa," kata Tangguh.

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah bergaya American style. Tangguh turun dari mobil dan merasakan udara segar di halaman depan rumahnya. Ia melangkahkan kaki hingga ke muka pintu. Laki-laki itu menekan bel beberapa kali.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. Ibu tiri Tangguh terlihat kikuk saat berhadapan langsung dengan laki-laki itu. Ia mulai menyunggingkan senyuman, "Welcome home, come in!"

Tangguh melangkahkan kaki masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Ia pandangi wajah Tyas yang kelihatan pucat pasih. Matanya juga sayu. Ia tampak lelah hari ini.

Tyas berpura-pura tersenyum ramah. Ia sedang menyembunyikan ketakutannya saat ini. "Haruskah aku membuatkanmu minuman? Kurasa kau pasti takut jika minuman itu diracun, bukan?"

Tangguh tersenyum. "Tidak perlu Tante," ujarnya.

Tyas meredupkan senyuman. "Apa kabar, Nak?" tanya wanita itu sembari menatap Tangguh.

Sebenarnya Tangguh tak menyukai basa-basi ini. Senyum dibibirnya luntur. "Kabar baik. Kuharap Tante dan Richard juga begitu."

Tyas tersenyum. Ia mulai menyadari bahwa sedari dulu Tangguh tak pernah menyukai basa basi dengan dirinya. "Kurasa kau tak akan pernah menyukai basa-basi ini."

Tangguh terdiam sejenak. Ia menaikkan kedua alisnya dan menghela napas. "Di mana Richard?"

Senyum Tyas perlahan memudar. Wajah wanita itu datar setelah Tangguh menanyakan keberadaan putranya. "Mau apa kau?" Tyas bertanya dengan ketus sembari menatap guci marmer yang terletak di sudut ruangan.

"Aku hanya ingin menyelesaikan semua masalah yang selama ini membebani hidupku, hidup Richard, dan mungkin juga hidup Tante. Aku ingin hidup dengan tenang. Aku sadar jika hidup berdampingan dengan kebencian hanya akan menarikku terperosok ke dalam gelap dan jauh dari kata bahagia," ujar Tangguh. Laki-laki itu menelan ludah dan memandangi wanita yang sedang duduk di hadapannya. "Maafkan saya jika selama ini tidak pernah menganggap Tante sebagai ibu sambung saya. Maafkan saya karena selama ini tidak pernah bisa menerima keberadaan Tante di rumah ini. Setelah beberapa urusan saya selesai, saya akan pindah ke kota lain dan memulai hidup dari nol. Tante tidak perlu khawatir soal aset, dan harta. Silahkan ambil semuanya. Saya tidak akan meminta sepeserpun."

Tyas terbelalak mendengar kalimat itu. Ia tak menyangka jika Tangguh datang dengan damai. Pandangannya teralihkan pada Tangguh setelah beberapa saat memandangi guci marmer dari Tiongkok yang terpajang di sudut ruangan.

"Pergi! Kamu udah mati! Jangan ganggu aku! Kamu udah mati!" Suara teriakan Richard sekaligus dentuman benda mengagetkan mereka berdua. Tyas berlari menuju kamar Richard disusul dengan Tangguh dari belakang.

"Aku mau hidup tenang Akmal! Pergi! Jangan ganggu aku lagi!" Teriak Richard histeris. Laki-laki itu meronta-ronta menangis dalam ketakutan yang mencekamnya.

Sesampainya di sana, Tyas memeluk Richard. Air matanya tumpah melihat kondisi Richard yang amat ketakutan hari ini.

"Akmal...Dia di atas lemari Ma!" Richard mengacungkan telunjuknya ke arah lemari baju. Semua badannya gemetaran. "Kepalanya berlumur darah dan sorot matanya tajam melihatku! Dia marah Ma!" Teriak Richard yang membenamkan kepala dalam pelukan ibunya.

Tyas menangis membelai kepala anaknya. "Akmal tidak ada sini! Kamu tenang ya. Mama juga bingung kalau kamu seperti ini terus!"

Tangguh tak percaya jika Richard mengalami halusinasi. Ia turut berempati terhadap apa yang menimpa saudara tirinya itu.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang