The Stigma

22 6 2
                                    

Hari ini, semua yang bekerja untuk Galuh tengah disibukkan dengan aktivitas mengangkat beberapa bingkisan sembako ke dalam mobil. Rencananya, mereka akanmembagikan banyak sembako untuk warga sekitar. Kegiatan ini merupakan ide dari Galuh dan telah disetujui oleh kakeknya. Lokasi pembagian sembako hari ini bertempat di alun-alun dekat tempat tinggal mereka. Pagi ini Galuh kembali membujuk Mba Meli agar diizinkan untuk ikut membagikan sembako-sembako itu.

"Aku tidak bisa mengizinkanmu kali ini. Aku kapok! Jantungku hampir berhenti saat kau batuk berdarah waktu itu! Aku tidak mau ambil resiko!"

"Tolonglah Mba Meli, aku seolah ikut merasakan kebahagiaan saat melihat mereka mendapatkan sembako ini. Ada energi positif yang aku dapatkan," kata Galuh.

Mba Meli memandangi Tangguh, Karsan, dan Pak Joni yang sibuk memasukkan sembako ke mobil.

"Jangan terlalu kaku begitu Mel," ucap Bi Ratmi sembari memberikan secangkir ramuan herbal yang biasa di konsumsi oleh Galuh setiap paginya.

"Iya Mba Meli. Aku cuma ingin melihat senyum bahagia mereka saja," ucap Galuh sembari meraih secangkir ramuan herbal itu.

"Kalau begitu, lihat saja di dalam mobil! Tidak boleh keluar. Biarkan Tangguh, Karsan, dan Pak Joni saja yang membagikannya."

Mendengar perkataan itu Galuh tersenyum gembira. Akhirnya, Mba Meli mengizinkan Galuh dengan bantuan Bi Ratmi. "Terimakasih Mba Meli," ucapnya senang.

Mba Meli melangkahkan kaki keluar rumah dan berangkat bekerja ke kantornya. Galuh langsung menghabiskan minuman herbal itu dan mencari mobil yang akan dikemudikan Tangguh. Pagi ini mereka berangkat ke alun-alun dengan mengendarai mobil masing-masing. Galuh bersama Tangguh, dan Karsan bersama Pak Joni. Mobil itu penuh dengan sembako seperti gula, beras, minyak goreng, tepung terigu, dan mi instan.

"Ingat ya, hanya di mobil. Tidak boleh keluar," kata Tangguh yang menatap jalan lurus di depannya.

"Iya," ucap Galuh.

***

Setelah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit di perjalanan, mereka akhirnya tiba di alun-alun. Tangguh, Pak Joni, dan Karsan meletakkan semua sembako yang dibawa ke atas meja kayu yang tersedia. Tangguh berada di titik utara alun-alun sedangkan Pak Joni dan Karsan membagikan sembako di titik selatan. Setelah semuanya tersusun, Tangguh langsung memberikan sembako itu kepada orang yang berlalu lalang di hadapannya.

Ada gula ada semut. Begitulah ujar pepatah. Beberapa orang mulai berkumpul dan mengantre di di depan meja Tangguh untuk menerima sembako itu.

Di dalam mobil yang terparkir kira-kira dua puluh meter dari keberadaan Tangguh, Galuh menyaksikan kebahagiaan yang warga. Ia mengamati semua orang yang mendapatkan sembako itu. Jiwanya ikut merasakan kebahagian saat memperhatikan senyum orang-orang itu.

Dari kaca mobil, Galuh melihat seorang anak kecil yang terjatuh. Anak itu kira-kira berusia lima tahun. Pakaiannya lusuh dan tak terurus. Spontan, Galuh berinisiatif untuk menolong. Ia keluar dari mobil dan menghampiri anak itu. Galuh membersihkan luka si anak dengan sapu tangan miliknya, ia juga memberikan uang agar anak itu bisa membeli makanan.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya yang tak dikenal mendatangi Galuh. Muka wanita itu bengis sekali. Ia memandang Galuh dengan sinis. Matanya yang tajam kini menyoroti Tangguh yang sedang membagikan sembako kepada orang-orang. Wanita itu melangkahkan kaki beberapa langkah, dan kini ia berada tepat di tengah antara meja Tangguh dan Galuh yang berdiri di samping mobilnya.

"Bapak-bapak, Ibu-ibu, saya punya pengumuman penting," teriak wanita itu dengan lantang. Sontak semua mata tertuju padanya.

"Jangan kalian ambil sembako itu! Sembako yang mereka bagikan merupakan pemberian dari wanita itu!" Kini telunjuk wanita paruh baya itu mengarah ke arah Galuh.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang