Based on dr. Diaz's journal (Part 3: The end of loneliness)

34 8 7
                                    

 Based on dr. Diaz's journal

Part 3: The end of loneliness

Di ruang perawatan Dokter Diaz, Pradipta melangkahkan kaki mendekati bed tempat di mana Galuh terbaring. Serangan sesak napas itu semakin sering dialami oleh gadis itu beberapa pekan terakhir.

"Galuh, dulu kau pernah bilang pada Kakek kalau kau ingin hidup di kota Durham, Inggris. Kakek bisa mengirimmu ke sana. Kakek akan biayai semua kebutuhan hidupmu. Kau bisa mulai kembali kehidupanmu di sana. Bila perlu Kakek akan ikutsertakan Dokter Diaz juga supaya dia bisa memantau kesehatanmu di sana."

Galuh terdiam. Ia tengah memikirkan sebuah kalimat yang hendak disampaikan pada kakek. "Galuh sudah terlampau nyaman di sini. Galuh juga sudah melupakan harapan untuk tinggal di kota Durham. Bagi Galuh, tempat ini sudah cukup."

Pradipta mengusap kepala Galuh dengan lembut. "Sejujurnya Kakek tak kuasa melihatmu begini. Kau terjebak dalam kesedihan. Bahkan Kakek merasa telah lama kehilanganmu. Kau tak pernah lagi menyambut kedatangan Kakek. Kau tak pernah lagi membagi ceritamu pada Kakek setelah Tangguh pergi. Laki-laki itu amat misterius. Sudah enam bulan ia menghilang dan hingga detik ini belum ada kabar dari pihak kepolisian maupun orang-orang yang Kakek kerahkan."

"Maafkan Galuh Kek. Kesedihan ini membuat beberapa lahan kelapa sawit kakek gagal panen. Bahkan juga beberapa kebun apel kita diserang hama. Maafkan karena Galuh yang menyebabkan kerugian itu."

Pradipta terkejut mendengar perkataan itu. "Bagi Kakek, kau bukan penyebab kerugian itu. Kau adalah anugerah terindah yang Kakek punya. Kau adalah segalanya. Bahkan alam juga tak rela melihatmu terpuruk dalam kesedihan itu. Kapan kau menyudahi semua ini?"

Air mata Galuh menetes. "Galuh tidak tahu. Harusnya Galuh tak pernah menaruh hati pada Tangguh. Celakanya, Galuh menyukai laki-laki itu Kek. Semuanya tidak akan sesakit ini jika perasaan itu tidak tumbuh," lirih Galuh.

"Kita tidak bisa memprediksi pada siapa kita akan jatuh hati. Begitupun denganmu. Itu hal wajar mengingat kau seorang wanita dan Tangguh seorang pria. Sama seperti jatuh hati, bukankah kehilangan juga bagian dari hal wajar? Kau pernah bersedih saat Orion memutuskan hubungan kalian. Tapi Kakek tak pernah melihat kau sesedih ini. Bisakah kau bangkit dan menata hidupmu kembali?" Pradipta mengusap air mata yang mengalir di pipi cucunya.

"Kali ini, sakitnya luar biasa Kek. Cinta yang tertuju pada laki-laki itu amat besar hingga mengundang kesedihan yang besar pula."

"Kau ini sama seperti ayahmu. Keras dan payah soal percintaan."

***

Sore ini Galuh meminta Dokter Diaz untuk menemaninya pergi ke pantai. Wanita itu membawa smartphone milik Tangguh. Sesampainya di sana, Galuh mendekat pada deburan ombak di bibir pantai itu. Air laut yang biru dan warna senja beradu satu menciptakan sebuah panorama indah dan menyayat hati Galuh.

Angin laut berhembus kencang membuat rambut Galuh tergerai. Ia berteriak melepaskan segala bebannya. Dokter Diaz hanya bisa memperhatikan Galuh dari kejauhan. Galuh menarik napas. Ia memejamkan mata. Dalam gelap, terlintas wajah Tangguh yang mengukir senyum di sana. Wajah Tangguh yang kerap kali dirindukan oleh Galuh.

Galuh membuka mata dan kembali memandangi lautan yang biru di depannya. Semua kenangan yang telah ia lalui bersama Tangguh kembali terlintas. Ia mengenang hari-hari yang pernah dilalui bersama. Kehadiran Tangguh hanya tiga bulan. Tapi luka yang ditimbulkan amat dalam dan membekas bagi gadis itu. Dengan sekuat tenaga ia melempar smartphone milik Tangguh ke laut.

Entah apa yang akan terjadi setelah aku melempar barangmu...Yang jelas aku ingin melanjutkan hidupku. Aku tak tahu apakah aku bisa keluar dari kenangan bersamamu atau tidak. Mulai dari detik ini aku akan berusaha semampuku untuk melupakan dirimu, Tangguh.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang