The beginning of a new leaf

23 7 0
                                    

Bunga-bunga matahari itu bergoyang, mendayu-dayu dihembus angin. Begitu pula dengan rambut Galuh yang tertiup angin sore ini. Bersama Tangguh, ia duduk di bawah pohon Akasia, menyaksikan langit yang mulai memerah.

Tangguh merasakan udara sejuk membelai poni rambutnya. Matanya terpaku memandangi ladang bunga matahari yang terbentang luas di hadapannya. "Kadang aku berpikir bagaimana cara agar aku bisa kembali ke tahun 2015. Tapi tetap saja aku belum menemukan jalannya," kata Tangguh.

Galuh terdiam. Ia tak tau bagaimana harus bereaksi setelah mendengar kata-kata itu. "Jika kau menemukan cara untuk pulang, apakah kau mau kembali ke tahun 2015?" Galuh menoleh ke arah Tangguh.

Pertanyaan itu membuat Tangguh terdiam sejenak. Ia bingung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Galuh. Kini, matanya melirik guratan jingga di angkasa sembari mengukir senyuman. "Sampai detik ini, aku belum menemukan alasan untuk kembali ke tahun itu." Senyum Tangguh memudar.

Galuh menekuk wajahnya."Maksudmu?"

"Kehidupanku di tahun itu hancur. Ada banyak hal-hal yang tidak mengenakkan terjadi. Sama seperti kehidupanmu. Dunia terlalu kejam untuk manusia yang lemah seperti kita. Aku lebih suka hidup di sini daripada harus menjalani kehidupanku di tahun 2015," jawab Tangguh.

Galuh terdiam beberapa detik. Ia kembali memandangi langit senja. "Tidakkah kau merindukan Bundamu?" tanya Galuh.

Tangguh kembali menundukkan pandangannya. Ia menatap rumput hijau yang mereka duduki sedari tadi. "Ia sudah pindah ke kota lain karena suaminya dipindahtugaskan. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan Bunda."

"Mau mencoba mengirimkan rindumu melalui angin seperti yang aku katakan beberap waktu yang lalu?" Galuh menatap Tangguh dan menaikkan alisnya.

Tangguh tersenyum dan mulai memejamkan mata. Beberapa detik kemudian ia membukanya kembali. "Tunggu dulu, apakah angin di tahun ini bisa melintasi zona waktu masa depan?"

Dengan nada yang meyakinkan, Galuh memegang tangan Tangguh dan meletakkannya di dada Tangguh. Setelah itu ia melepaskan genggamannya. "Bisa jadi. Tapi semuanya itu terletak di sini Tangguh. Di hatimu. Angin akan merasakan bagaimana tulusnya kau menanggung rindu itu. Ia akan sampaikan rindumu untuk mereka yang kau tuju."

"Baiklah. Aku coba ya." Tangguh memejamkan mata dan menarik napas. Ia merasakan lembutnya angin sore yang berhembus. For the wind that is blowing, convey my longing to Bunda, gumamnya. Tangguh kemudian membuka mata setelah merapalkan mantra itu. "Oke. Selesai." Tangguh menyunggingkan senyuman.

Galuh membalas senyum itu dengan berbalik tersenyum kepadanya. "Ada banyak misteri dunia yang belum terpecahkan. Contohnya saja, dirimu. Jika dipikir-pikir bagaimana bisa kau terdampar di tahun 1970? Sedangkan kau hidup di tahun 2015. It doesn't make sense."

"Kau benar. Dan aku menjadi salah satu dari ribuan misteri dunia yang belum terpecahkan itu," sahut Tangguh.

Tangguh merasakan kepalanya sedikit pusing sore ini. Ia tetap menahan rasa pusing itu dan berpura-pura baik-baik saja. Rasa pusing itu mulai berubah menjadi nyeri. Nyeri yang menjalar memenuhi kepala dengan rasa seperti ditusuk-tusuk. Rasanya sakit sekali sampai-sampai keringat mulai mengucur membasahi wajahnya.

"Tangguh, wajahmu berkeringat. Ada apa denganmu?" tanya Galuh dengan panik.

"Kepalaku sedikit sakit. Tapi tidak apa-apa. Sepertinya bahan kemeja yang kukenakan ini tebal hingga membuat aku berkeringat," kata Tangguh sembari menepuk kepalanya.

"Tangguh, bangunlah Nak.

Kami disini menunggumu.

Kau harus pulih. Demi Bunda."

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang