Mereka kembali melaju mengendarai mobil itu. Kali ini perjalanannya lumayan jauh dari kota. Entah dari mana Galuh mengetahui tempat itu. Tangguh hanya bisa menuruti kemauan majikan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat puluh menit, mereka tiba di sebuah tempat di mana terdapat rel kereta di depan mereka. Tempat itu masih asri dan sangat sejuk. Terdapat satu pohon beringin besar rindang yang kokoh menjulang ke atas, tepatnya di tepi rel. Rel kereta itu tampak menawan karena berada di tengah-tengah rumput pampas.
"Tahu dari mana kamu tempat secantik ini?" Mata Tangguh terbelalak takjub akan pesona tempat itu.
"Kakek yang memberitahuku. Ia pernah membawaku ke sini," jawab Galuh sembari menikmati angin lembut berhembus membelai rambutnya.
Mereka berdua duduk di bawah pohon beringin rindang itu sembari menikmati panorama indah yang tersuguh. Kesejukan udara di tempat itu membuat Galuh merasakan sebuah ketenangan yang sudah lama ia rindukan. Dari kejauhan, bunyi klakson kereta api mulai terdengar. Kereta itu melaju dengan cepat di depan mereka.
"Aku suka melihat kereta api yang melaju. Kereta itu mengantarkan harapan para penumpangnya. Setiap gerbong menampung banyak manusia dengan latar cerita berbeda-beda. Kereta yang mengantarkan orang-orang yang lelah dengan pekerjaan, orang yang menanggung kerinduan, serta orang-orang yang mencoba merantu ke tempat lain. Bersama kereta itu mereka pulang dan beristirhat di tengah-tengah usaha mencapai mimpi mereka," mata Galuh terpaku melihat gerbong yang melintas.
"Jadi konteksnya kereta itu alat pengantar harapan?" Tanya Tangguh.
Galuh mengangguk. "Lebih tepatnya, kereta itu mendekatkan mereka pada harapan mereka. Kereta itu mengantarkan mereka yang menanggung rindu pulang dan membabat habis rasa sesak merindu. Kereta itu juga mengantarkan mereka yang memilik mimpi besar untuk mencapainya. Tidak jarang kereta itu juga memulangkan sebagian dari mereka yang terluka. Bagaimana dengan 2015? Apakah kereta di zamanmu lebih maju daripada ini?" Tanya Galuh penasaran.
"Tentu. Ada kereta listrik, kereta cepat, bahkan di beberapa negara ada rel kereta api yang dibuat di dasar laut. Canggih kan?" Tangguh berbalik bertanya.
Raut muka Galuh menunjukkan rasa takjub setelah mendengar penjelasan Tangguh. "Aku tidak bisa membayangkannya! Itu terlalu rumit," cakapnya.
"Tak usah dibayangkan. Cukup didengar saja," kata Tangguh.
Gerbong akhir kereta itu perlahan mulai menghilang. Tinggallah mereka berdua dan tumbuh-tumbuhan di sana. Angin terus berhembus, membuat rumput pampas bergoyang-goyang. Suara kicauan burung terdengar menghiasi suasana tempat itu.
"Konser Oliver Jeremy akan diadakan dua bulan lagi. Dia adalah pianis idolaku. Tapi kakek tidak mengizinkan aku menyaksikannya. Sayang sekali jika aku harus melewatkan konser itu. Rasanya berat," keluh Galuh.
"Kau bisa pergi bersamaku ke konser itu, jika kau mau."
Penawaran Tangguh membuat Galuh pesimis. "Mana bisa seperti itu? Nanti kalian satu rumah kena amuk kakekku. Belum lagi jika Mba Meli tahu. Habis kamu dimarahi sama dia."
"Cuma dimarahi kan? Tidak dipecat?" Tangguh kembali bertanya seraya menyunggingkan senyuman.
"Iya, tidak untuk Mba Meli. Tidak tahu kalau kakek."
"Aku janji, akan bawa kamu ke konser itu, tanpa ketahuan siapapun." Tangguh mengacungkan kelingking kanannya kepada Galuh. Terbesit keraguan di hati Galuh terhadap janji yang Tangguh ucapkan. Namun, mata itu...Kedua mata Tangguh yang meyakinkannya. Galuh menautkan kelingkingnya pada kelingking Tangguh.
"Janji ya. Whatever it takes, I believe on you."
"Iya." Tangguh tersenyum.
Mereka berdua melepaskan kelingking yang bertaut itu. "Terimakasih ya. Oh iya, apa pandanganmu tentang dunia Tangguh?" Galuh kembali melemparkan pertanyaan pada Tangguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken Flower
FanfictionAbout time barred between Them Sinopsis singkat: Ini adalah kisahku. Kisah bagaimana sebuah peristiwa di luar logika terjadi. Bisa kau bayangkan? Aku tak sengaja terdampar di tahun 1970 dan bertemu seorang gadis yang diasingkan keluarganya karena pe...