A letter for Tangguh

73 8 14
                                    

Pagi datang lagi. Tangguh terjaga dari tidurnya. Ia amat lesu hari ini. perasaan bersalah itu kerap kali membuatnya tak berdaya dan merasa terkungkung pada rasa bersalah. Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kaca di samping kasurnya. Tangguh menuju ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan mencuci muka.

Setelah itu, Ia kembali membuka buku usang milik Dokter Diaz. Ia balik lembaran buku itu lalu menemukan sebuah amplop putih dengan noda bercak kekuningan di permukaan kertasnya. Ia belum bisa melanjutkan membaca jurnal itu. Ia masih terpukul pada lembaran yang menuliskan kepergian Galuh untuk selamanya.

Tangguh merenung di kamar. Ia melamum. Dirinya tak habis pikir dengan apa yang menimpa Galuh. Gadis itu harus menjadi korban dari kebencian hati seseorang. Ia memejamkan matanya. Wajah Galuh yang menyunggingkan senyum terlintas di kepala Tangguh. Ia membuka mata dan menghela napas panjang. Dengan perasaan yang berduka, Tangguh memutuskan untuk kembali membaca buku itu.

***

Based on dr.Diaz's Journal

Setelah kematian Galuh, Pradipta dan keluarganya amat terpukul. Meskipun beberapa dari anggota keluarga tak sepenuhnya bersedih karena kematian Galuh. Sebagian bersedih karena ramalan itu. Apakah mereka akan tetap makmur dan kaya setelah Galuh tiada?

Jasad Galuh dibawa dan dimakamkan di kota tempat Pradipta tinggal. Galuh menutup kisahnya bersama dengan asisten-asisten yang selalu ada di akhir hidupnya. Bagi para asisten-asisten serta Mba Meli, Galuh lebih dari sekedar majikan. Ia adalah keluarga.

Setelah kematian Galuh, Mba Meli tetap tinggal di rumah itu. Sementara Dokter Diaz, Karsan, Pak Joni dan Bi Marni harus kembali bekerja untuk keluarga Ekawira di rumah utama.

"Dia anak yang baik, pintar, cantik, dan bebakat di bidang musik. Namun sayang, hidupnya harus berakhir," ujar Pradipta mengenang Galuh. Laki-laki itu menaburkan beberapa genggam bunga segar ke makam Galuh.

"Saya masih tidak menyangka dia pergi secepat ini Tuan," ucap Dokter Diaz yang terpaku melihat nisan Galuh.

Pradipta memegang nisan itu dan menciumnya. Ia berdiri dibantu oleh Dokter Diaz. "Terimakasih Dokter Diaz. Kau telah melaksanakan tugasmu hingga akhir."

"Sudah kewajiban saya Tuan. Tuan tak perlu sungkan."

"Aku hanya berharap, ia bisa tenang di sana."

"Tuhan pasti menempatkan Galuh di tempat terindah. Ia orang baik," kata Dokter Diaz.

Pradipta mengangguk seraya mengusap air mata yang membahasi pipinya.

***

Beberapa bulan pasca meninggalnya Galuh, semua perkebunan sawit dan apel yang milik keluarga Ekawira dinyatakan gagal panen total. Berhektar-hektar tanaman sawit itu mengalami busuk pangkal batang, sementara perkebunan apel mereka gagal panen dikarenakan apel-apel itu busuk terkena penyakit mata ayam.

Ramalan beberapa tahun yang lalu benar-benar terjadi. Peristiwa gagal panen itu merupakan awal dari kehancuran ekonomi keluarga Ekawira. Tak lama berselang, perusahaan yang dipimpin oleh Pradipta akhirnya dinyatakan bangkrut. Pemicu kebangkrutan perusahaan itu karena terlalu fokus pada pengembangan produk, dan juga kurang mengamati pergerakan kompetitor. Banyak aset keluarga Ekawira yang harus dijual untuk membayar gaji karyawan dan serta hutang piutang.

Di hari itu, semua asisten yang bekerja di rumah utama menangis. Mereka terpaksa harus diberhentikan termasuk Dokter Diaz. Hal ini dikarenakan keluarga Ekawira akan pindah dan memulai kehidupan baru mereka di Den Haag, Belanda.

Unbroken FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang