Tiga bulan berlalu. Hingga detik ini tak kunjung ada kabar dari Andre mengenai keluarga Ekawira ataupun Dokter Diaz. Tangguh terpaku menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi kampus. Ia pandangi bayangan itu lalu ia usap wajahnya dengan air keran. Tangguh berjalan menuju ruang sidang. Sesampainya di sana, ia duduk dan menahan semua rasa gugup yang mulai menerpa.
Tangguh gugup dan sedikit cemas karena beberapa menit lagi ia akan menjalani sidang proposal skripsi. Keningnya berkeringat. Ia mengusap cairan itu dengan selembar tisu. Ia menghela napas panjang dengan harapan dapat melepas semua kegelisahannya bersama karbondioksida yang dihasilkan saat proses bernapas itu berlangsung.
Sidang skripsi pun dimulai. Tangguh menjelaskan isi dari proposal skripsi yang telah ia buat. Ia memaparkan dengan ringkas mulai dari alasan memilih judul, manfaat, inovasi yang ditawarkan, serta metodologi yang akan dilakukan ketika menggarap penelitian. Sesi tanya jawab dimulai. Satu per satu pertanyaan dari dosen penguji mulai diajukan.
Setelah semua pertanyaan tertampung, dengan percaya diri Tangguh menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan teori dan artikel-artikel ilmiah yang ia gunakan sebagai referensi. Ia menjawab dengan runtut dan menggunakan bahasa yang tak bertele-tele. semua pertanyaan telah terjawab. Dosen penguji mengangguk pertanda ia setuju dengan jawaban dari Tangguh.
"Saya rasa penelitian ini bisa dilanjutkan. Selamat berproses Tangguh. Nikmati dan jangan dibikin susah," ujar dosen penguji itu sambil tersenyum.
Tangguh menyunggingkan senyum. "Terimakasih Pak," katanya. Ia amat bahagia karena sidangnya berjalan lancar tanpa hambatan. Mata Tangguh berbinar-binar. Ia melangkah mendekati dosen pembimbing dan dosen penguji kemudian berjabat tangan.
Sidang proposal itu selesai. Tak ada satupun teman Tangguh yang datang hari ini. Kebanyakan teman seangkatannya sudah bekerja dan melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Tangguh keluar dari ruang sidang itu. Ia mengendorkan dasi hitam yang sedari tadi melingkar dilehernya. Ia menatap langit yang biru. Ia tersenyum dengan bangga karena beberapa langkah lagi tanggung jawabnya akan berakhir. Satu panggilan masuk menggetarkan ponselnya. Tangguh mengeluarkan ponsel pemberian bunda dari kantong celana yang ia kenakan.
Ambarleka menanyakan sidang proposal Tangguh hari ini. Wanita itu tersenyum sumringah mendengar bahwa sidang proposal keponakannya telah berlangsung dengan lancar. Tangguh juga menceritakan semuanya kepada Ambarleka. Panggilan itu berakhir setelah lima menit mereka bercakap-cakap. Tangguh menggenggam ponselnya dan kembali merasakan angin yang berhembus.
For the wind that is blowing, convey my longing to Galuh.
Hai Galuh, hari ini aku telah menyelesaikan sidang proposal skripsiku. Semua berjalan lancar. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan menyelesaikan tanggung jawabku di kampus ini.
Ponsel yang digenggam Tangguh kembali bergetar. Satu panggilan dari Andre membuat matanya terbelalak. Andre menelpon dan mengabarkan jika ia ingin bertemu dengan Tangguh. Mereka berdua sepakat bertemu di sebuah choffe shop langganan mereka sewaktu SMA.
Sesampainya di sana, Tangguh melihat Andre sedang duduk di meja nomor 14. Andre mengangkat tangan ketika melihat Tangguh masuk dari pintu ruangan itu. Tangguh kemudian duduk berhadapan dengan Andre.
"Gimana Ndre? Ketemu?" tanya Tangguh dengan harap-harap cemas.
Andre membalik laptop yang sedari tadi ia pandangi ke arah Tangguh kemudian ia mulai menjelaskan hasil temuannya. "Enggak ada informasi mengenai keluarga Ekawira di sini. Tapi, ada seseorang Bernama Purnama Ekawira. Dia dokter spesialis bedah saraf dan sekarang tinggal di Den Haag, Belanda. Cuma itu yang aku dapat soal keluarga Ekawira," tutur Andre.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken Flower
FanfictionAbout time barred between Them Sinopsis singkat: Ini adalah kisahku. Kisah bagaimana sebuah peristiwa di luar logika terjadi. Bisa kau bayangkan? Aku tak sengaja terdampar di tahun 1970 dan bertemu seorang gadis yang diasingkan keluarganya karena pe...