Bab 1: Permulaan

4.8K 280 5
                                    

Duk... Duk... Duk...

Drrrt....

Drrt......

Mendongak, aku mengambil ponsel dari atas meja belajarku. Memeriksa Id penelepon.

Dain Idiot

Aku berani bertaruh. Saat ini dia sedang mabuk di bar murahan di dekat apartemennya. Jika dia bukan satu-satunya keluargaku yang masih hidup. Aku tidak akan repot-repot mengangkat telepon sialan ini. Lebih baik melanjutkan naskahku untuk segera dikirimkan ke editor.

Melirik kalender kecilku yang bertengger di atas meja belajarku. Hari ini adalah tanggal terakhir. Aku benar-benar mencapai batas deadline nya. Ya, ampun. Aku benar-benar akan menghajar Dain. Menggeser layar ponselku. Aku langsung membentaknya dari ujung telepon. "Halo! Pulanglah sendiri, idiot!"

"Oh, Halo Rhea!"

Suara yang ada di ujung lain. Bukanlah suara Dain, itu adalah suara bartender sekaligus pemilik clubnya. Mark. Dia adalah pria yang baik. Masih mau mengurusi Dain yang tidak tahu diri.

Ya, ampun. Aku merasa bersalah padanya. Dia tidak berhak menerima kekesalanku. 

Akhirnya, aku merendahkan nada suaraku. "Maafkan aku, Mark." Suara bising dari bar itu masih terdengar dari panggilan kami.

Mark terkekeh. "Dia benar-benar mabuk, Rhea. Kumohon, ambil dia sebelum wanita asing lain mengambilnya."

"Baiklah, aku akan segera kesana. Tolong jaga dia sebentar untukku, Mark. Terima kasih."

"Tentu saja." Jawab Mark.

Aku mematikan panggilannya dan beranjak berdiri dari meja belajarku. Mematikan laptopku, lalu membuka lemari disampingku dan menyambar sebuah hoodie yang kebesaran untuk tubuhku. Aku memakainnya. Saat aku menutup pintu lemariku. Aku melihat pantulan diriku dari kaca yang menempel di pintu lemari.

Dain pernah mengatakan padaku, jika aku mau mengubah penampilanku dan lebih sering keluar dari apartemen kecilku. Mungkin para pria akan mulai tertarik denganku.

Kacamata bulat menggantung di wajahku. Mataku yang berwarna abu-abu meredup karena kelelahan. Rambut pirangku berminyak karena aku belum mencucinya. Pipiku tampak lebih bulat dari biasannya. Aku tidak punya waktu untuk mengurus diriku karena terlalu sibuk dengan naskahku. 

Hoodie yang aku pakai berwarna putih dan kebesaran. Ditengah Hoodienya ada kantung yang besar. Biasanya, aku menggunakannya untuk menyembunyikan kedua tanganku saat berjalan dan juga sebagai penyimpanan ponsel dan dompetku.

Sebelum aku berbalik dari cermin. Aku menyarungkan tudung hoodienya ke atas kepalaku. Menyembunyikan rambutku yang masih acak-acakan. Dahiku berwarna merah. Aku mengangkat tanganku untuk mengusapnya. Berharap warna merahnya akan sedikit memudar. Tapi, itu sia-sia.

Menyerah, aku berbalik dan menyambar ponselku dari atas meja belajarku. Lalu keluar dari apartemen kecilku.

***

Angin malam menerpa wajahku hingga membuat hembusan napasku berubah menjadi kepulan udara putih.

Ya, ampun. Cuacanya hampir membeku.

Aku berjalan dengan langkah cepat sambil menyelipkan kedua tanganku kedalam saku hoodieku. Tinggal dua blok lagi.

Dasar Dain sialan!

Jalanannya remang-remang. Memakai Hoodie berwarna putih di tengah malam benar-benar membuatku tampak mencolok. Walaupun masih ada lampu yang menerangi jalanan. Tapi, aku merasa seperti suar yang menarik apapun yang berbahaya disekelilingku.

The Hunters Moon (Moon Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang