Kedua mataku terbuka. Aku menatap langit-langit kamar kami.
Semuanya sudah berakhir.
Damon sudah mati.
Nial telah menggantikannya.
Aku terbangun dengan sebuah tarikan nafas panjang yang tajam. Seseorang mengambil tanganku. Aku menoleh dan melihat Luke tampak panik. "Ada apa?" Tanyanya cepat sambil berdiri dari kursinya dan memeriksa tubuhku. "Apakah lukamu masih sakit?"
Nafasku terengah-engah. "Berapa lama?"
Dia menaikkan alisnya. "Lima hari. Kamu tertidur selama lima hari." Ucapnya berusaha untuk tidak bingung dengan pertanyaanku.
Aku menghela nafas lega. Saat aku menelan. Tenggorokanku benar-benar kering, hingga aku terbatuk. Luke mengambil sebuah gelas yang berisi air dari nakas. Dia membantuku minum. Ketika air mengalir kedalam tenggorokanku. Aku menghembuskan nafas lega. Sinar bulan datang dari balik balkon yang terbuka. Angin sepoi-sepoi menerbangkan tirai disekeliling balkon.
Luke duduk kembali di atas tempat duduknya dan mengambil satu tanganku. Dia mengenggamnya. "Harusnya, aku bisa menebaknya." Dia mulai bicara sambil mengamati genggaman tangan kami. "Malam itu, kamu sudah berjanji padaku."
"Bagaimana aku bisa meninggalkanmu."
Luke terlihat murung, dia menunduk dan masih mengamati genggaman tangan kami. "Aku melakukannya demi kebaikanmu, Rhea."
Aku melepaskan tanganku darinya dan menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. "Aku tidak akan meninggalkanmu, bahkan jika kamu mengusirku sekalipun." Aku menatapnya dengan intens.
Dia tersenyum. "Aku juga, sekalipun kamu mengusirku."
Astaga, aku sangat merindukannya. Aku tidak ingin mengingat lima hari lalu, dimana aku hampir kehilangannya.
Kedua tanganku turun dan mengelilingi lehernya. Aku menariknya dan memeluknya. "Maafkan aku, karena membuatmu terbius."
Tangannya mengelilingi pinggangku, dia menarikku ke atas pangkuannya. Dia melepaskan pelukan kami. "Yah, walaupun awalnya aku memang sangat ingin memarahimu. Tapi, aku akan selalu memaafkanmu."
"Apapun yang kulakukan?" Aku menggoda.
Dia terkekeh, "Tergantung," Jawabnya riang.
Aku menunduk dan mencium bibirnya. Dia menyambutnya. Kami berciuman dengan lembut dan lama. Sampai akhirnya, tangannya naik ke ke belakang kepalaku dan menarikku lebih dekat ke arahnya. Ciuman kami berubah menjadi keras dan menuntut. Geraman rendah bergemuruh darinya. Satu tangannya yang lain berada di pinggangku, membelainya.
Perutku berbunyi.
Kami berdua langsung terhenti.
Aku mengigit bibirku karena malu. Tapi dia malah terhibur. "Mari kita turun. Aku yakin, masih ada sisa makan malam." Tanpa menunggu persetujuanku. Dia berdiri sambil menggendongku.
Ketika kami sampai di ruang makan. Luke mendudukan aku di samping kanan kursi utama meja makan. Dia menghilang sebentar ke arah dapur. Saat dia kembali. Dia membawa dua piring steak daging yang masih mengepul.
Mulutku berair.
Dia meletakkan dua piring itu dihadapanku. Lalu menghilang lagi kedalam dapur dengan kembali membawa dua gelas air.
Alisku berkerut, "Tidak ada wine?"
Dia menggeleng sambil meletakkan gelasnya di atas meja. "Tidak ada." Jawabnya tegas.
Aku mulai menarik satu piring steak di hadapanku dan mengirisnya. Makanannya masih hangat. Saat aku mengunyah potongannya, aku mengerang penuh suka cita. Astaga, kenapa makanannya bisa seenak ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hunters Moon (Moon Series #1)
WerewolfSaat itu adalah malam yang gelap. Aku setengah berlari, ketika mulai menyusuri jalanan yang dingin dan gelap. Beberapa lampu jalanan disekelilingku tidak menyala. Instingku terus-terusan memperingatkan aku untuk berlari. Aku mencoba untuk terus be...