Bab 10: Penghianatan

1.4K 130 2
                                    

Paginya, Leana menepati perkataannya. Setelah sarapan, kami berdua berlatih hingga siang hari di tepi hutan di belakang rumahnya. Angin yang berhembus kencang membuat gerakanku goyah, hingga membuat Leana unggul dan menjatuhkanku dalam dalam satu pukulan.

Hari ini, matahari tidak muncul. Awan gelap berputar-putar di atas kami, disertai petir yang menggelegar. Tapi itu tidak menyurutkan semangat kami untuk berlatih. Kami berdua berlatih hingga hujan turun dan basah kuyup. Ketika hujan berubah menjadi badai, Leana akhirnya menghentikan latihan kami dan masuk ke rumah untuk menghangatkan diri.

Hari itu, kami menghabiskan sisa hari dengan meringkuk di atas sofa ruang tamunya sambil meminum coklat panas. Setidaknya, aku bisa mendorong perasaan gelisahku ke sudut pikiranku. Kami berdua mengobrol hingga tengah malam.

Ketika kami berdua terlalu mengantuk untuk mengobrol lagi dan kami naik ke atas untuk tidur di kamar masing-masing. Sebelum berbaring, ketika aku akan menarik tirai jendela kamarku. Pandanganku tertuju pada siluet yang sama pada malam sebelumnya. Siluet itu masih di tempat sama, aku memandangnya selama beberapa saat. Tapi terlalu mengantuk untuk berusaha mengenalinya. Jadi, aku menutup jendela dan menarik tirainnya hingga tertutup rapat, lalu berbaring di tempat tidurku yang hangat.

***

Selama lima hari berikutnya, Leana dan aku sama sekali tidak pergi ke kastil. Kami berdua menghabiskan waktu dengan berlatih dan berkeliling kota untuk mencicipi beberapa makanan serta bir. Aku bahkan membuat kemajuan dengan naskahku. Sayangnya aku masih tidak punya cara untuk mengirimnya ke editorku.

"Apakah tidak ada cara lain untuk mendapat sinyal disini?" Teriakku frustasi pada Leana.

Dia duduk di sofa hadapanku sambil menyesap minumannya, bersiap untuk tidur. Tersenyum, dia meletakkan cangkirnya yang mengepul di atas meja. "Jika kamu mau menurunkan egomu dan bicara pada Luke. Aku yakin, kamu bisa mendapatkan keinginanmu."

Aku berdecak kesal, "Aku tidak ingin bicara padanya."

"Kenapa? Apa karena kamu cemburu, Rhea?" Tanya Leana sambil tersenyum miring.

Ya, ampun. Kadang aku lupa, Leana juga usil. Kelakuannya yang usil benar-benar mengingatkan aku dengan Dain.

Bicara tentang Dain, apakah dia tidak berniat menemuiku atau semacamnya? Atau apakah dia sudah melupakanku dan menjadi pengikut Luke?

"Kelakuanmu yang usil, mengingatkan aku pada Dain." Seruku, lalu beralih ke depan laptopku dan mulai melanjutkan mengetik naskahku. Beberapa menit kemudian, terdengar ketukan dari pintu luar dibelakang kami. Aku mendongak dan memandang Leana, dia tidak bergerak sama sekali. "Aku yakin, itu tamumu."

"Apakah itu Luke?" Tanyaku agak takut.

Leana terkekeh, "Tidak." Jawabnya cepat, lalu dia berdiri dan mulai melenggang masuk ke dapur.

Aku berdiri dan berbalik, berjalan ke arah pintu. Ketika aku membukannya, Dain berdiri disana. Wajahnya tampak lelah. Tapi, dia berusaha menyembunyikannya. Pandangannya tertuju pada apapun yang ada dibelakangku, seperti mencari sesuatu.

"Apa yang membawamu kesini, eh?"

Akhirnya, pandangannya kembali padaku. "Kakek Carl menghubungiku, dia ingin bertemu denganmu."

Aku menaikkan kedua alisku, "Bagaimana ponselmu mendapat sinyal?"

Dain nyengir lebar, "Luke yang mengaturnya. Bicaralah padanya. Aku yakin, dia akan melakukan apapun yang kamu minta."

Aku memutar kedua bola mataku kesal, Dain dan Leana benar-benar menjengkelkan.

"Kapan kita berangkat?" Tanyaku ketus.

The Hunters Moon (Moon Series #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang