Epilog

60 2 0
                                    

Happy reading!

•••

5 tahun kemudian

Suasana kota begitu ramai hari ini, terdengar suara klakson dimana-mana memperebutkan jalan karena kebetulan hari ini hari kerja biasa bukan hari liburan. Gedung-gedung atau bangunan tinggi mulai terlihat dimana-mana menandakan negara ini sangat maju, angin sepoi-sepoi mulai berhembus sedikit dingin saat ini.

Terlepas dari semua itu mau sesibuk apapun kota saat ini, namun itu semua tidak berarti apa-apa pada seorang lelaki yang terduduk melamun di bangku taman. Pandangannya yang sendu menatap ke bawah dimana rumput yang ia pijaki, ia sedikit kasihan pada rumput yang ia pijaki karena rumput juga makhluk hidup... kenapa harus terpijak-pijak seperti itu.

"Mungkin karena memang takdirnya, kasihan banget... kalo dirumah Rose dengan segala cara marahin gue atau ngehukum gue karena saking sayangnya sama tumbuhan.. suami sendiri aja nggak pernah di sayang," gerutunya pelan lalu membiarkan cairan bening membasahi pipinya, entah kenapa hari ini perasaannya sangat sedih dan kembali terdengar helaan putus asa darinya kembali.

Setelah hening beberapa saat lamunannya terbuyarkan dengan sebuah notifikasi yang tidak biasa, disana tertera dengan pengingat sialannya itu.

"Kenapa harus berlalu secepat ini... 5 tahun udah berlalu tapi rasanya kayak baru terjadi kemarin. Gue bisa gila kalo ngomong gini sendiri," gumamnya pelan lalu beranjak pergi dari sana dengan pikiran yang bercabang entah kemana saja. Padahal ada sebuah notifikasi lagi yang belum ia baca, tolong ingatkan padanya. Ini serius.

Lelaki itu terus berjalan dengan setelan serba hitamnya karena sedang bolos bekerja hari ini kearah pemakaman dengan wajah yang sama seperti tadi, murung dan tatapannya yang sendu.

Perlahan-lahan langit mulai gelap, dan sebentar lagi pasti hujan akan turun. Namun dia tak menyadari bahkan terkesan tak peduli jika hujan akan turun sebentar lagi.

Lelaki itu terus berjalan melewati setiap gundukan tanah dan batu nisan yang berjejer rapi disana. Langkahnya lantas terhenti di depan makam yang ingin ia kunjungi, lalu dia meletakkan setangkai bunga lily putih diatas makam tersebut. Bunga itu adalah bunga kesukaan orang yang sangat ia sayangi sudah pergi menyusul Bundanya.

"Halo..."

"Gue datang lagi..."

Suara petir tiba-tiba terdengar. Lelaki itu mendongak ke langit, lalu perlahan rintik hujan itu mulai turun dan lama-lama semakin deras. Ia membiarkan dirinya kebasahan walau sudah sedikit menggigil kedinginan.

"Hujan..." lirih lelaki itu pelan. Atensinya kembali pada nisan yang ada di hadapannya.

"Lo benci hujan, kan? Sekarang gue benci hujan juga..." lirihnya kembali dengan pelan sambil menahan isak tangisnya.

"Gue rindu banget sama lo... balik pulang, Lan. Rumah sepi banget tanpa lo... lo boleh kok benci gue, benci aja gue sampai lo puas gue nggak apa-apa, tapi lo jangan kayak gini..." tangisannya pecah saat itu juga. Dadanya sangat sesak dan ia lupa membawa inhaler miliknya sehingga ia terjatuh lalu menangis histeris disamping makam itu. Ponselnya kembali berdering namun dia sama sekali tak mempedulikannya, padahal panggilan itu sangatlah penting.

Melupakan orang yang diam-diam kita sayangi itu sangatlah susah, mau diberitahu sekeras apapun namun tetap saja akan seperti itu. Ia meremas batu nisan adiknya itu dengan kuat kala sesak memenuhi rongga dadanya, mukanya memucat karena penyakitnya kambuh kembali namun ia tak bisa melakukan apa-apa.

"Lan... sakit..." bisiknya sangat pelan sampai tak bersuara sebelum dirinya pingsan. Untunglah saat itu Mark datang ke pemakaman itu untuk mengunjungi orangtuanya, dan samar-samar dia melihat ada yang tergeletak pingsan tak jauh darinya. Dengan cepat ia menghampirinya lalu memapahnya pergi dari sana. "Pasti lupa bawa inhaler lagi, huh!"

DON'T LEAVE METempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang