Arsyraina || 16

30 24 70
                                    

Written by HasrianiHamz

🌯🌯🌮🌮🌯🌯

Baru saja sambungan telepon terputus. Di luar sudah terdengar ketukan pintu berulang kali yang diiringi dengan teriakan.

"Arsyra!"

"Assalamu'alaikum, ARSYRA ...."

Allahuakbar. Rasanya benar-benar lelah meski hanya sekadar menyahut. Terpaksa salamnya hanya kujawab dengan setengah berbisik saja. Berharap orang di luar sana segera pergi jika ia berpikir aku sedang beristirahat.

Akan tetapi, sepertinya orang itu benar-benar tidak tahu diri. Bagaimana mungkin ia ingin bertamu di jam istirahat seperti ini dengan sedikit memaksa.

Sekali lagi, kudengar teriakannya lebih keras, sekeras tangannya menggedor pintu dan jendela. Haiss, ada ya orang seperti itu.

"Kenapa?" tanyaku ketika membuka pintu.

Sengaja kutampilkan wajah yang lesu seperti orang baru bangun, tapi ternyata itu adalah kesalahan terbesarku hari ini. Bukan berhasil mengusirnya secara halus, orang itu justru senang dan mengajakku segera pergi dengan alasan aku sudah tidur siang, dan ia tidak merasa mengganggu sama sekali.

"Bang Adi panggil ke Cabang, sekarang!"

"Tidak mau, aku mau istirahat sebentar. Sore aja lah aku ke sana, ya."

Aku memohon agar bisa dimengerti sedikit saja. Tapi memang dasar kalau orang yang tidak punya pengertian sama sekali tidak akan bisa.

Beberapa lama kita bernegosiasi, pada akhirnya aku juga yang harus mengalah. Jika tidak ikut, aku pun tidak akan bisa beritirahat dengan tenang. Mungkin orang ini akan pulang, tapi percayalah akan banyak lagi yang kembali menggangguku.

Jarak dari kost ke Cabang masih sama, tapi rasanya kali ini berbeda dan entah menjadi terasa sangat jauh. Ditambah lagi dengan terik matahari yang begitu menyengat. Andai boleh aku pulang kampung saja hari ini, tapi itu pun tidak bisa kulakukan.

Beberapa menit terpanggang di antara aspal jalan dan sinar matahari, akhirnya tiba di parkiran depan Sekretariat Cabang. Hanya ada beberapa motor, sepertinya di dalam juga sunyi. Lalu kenapa aku harus dipaksa datang jika yang lain saja belum terkumpul. Kenapa semakin hari, aku merasa hanya diri ini yang ditekan. Dipaksa untuk melakukan ini itu sedangkan yang lain dibiarkan sesukanya.

"Ayo, masuk," ajak Dito setelah melepas helmnya.

"Di dalam ada siapa aja? Malasnya aku ini, To. Antar pulang lagi aja," bujukku.

Namun, detik itu juga Dito melesat masuk tanpa bersuara lagi. Dengan malas, aku melangkah untuk melihat siapa saja orang egois yang ada di dalam sana. Ternyata mereka lagi. Rasanya aku ingin menangis, ketika mereka yang kuanggap kakak selama ini ternyata hanya ingin menjadikanku batu loncatan.

Di dalam sudah ada bang Adi dan teman-temannya, juga kak Rachmat yang sedang serius memberikan arahan. Kupikir orang itu sudah pulang, ternyata masih betah saja berada di sini. Aku jadi penasaran dengan aktivitas senior satu itu. Katanya tidak ada kerjaan, tapi kelihatannya tidak sedang menjadi beban. Justru senior merasa senang dengan kehadirannya di sini, tapi kalau memang dia kerja lantas bagaimana mungkin dia bisa berjalan sebebas itu.

Cukup lama aku berdiri di ambang pintu, menatap mereka yang tengah serius membahas persiapan aksi besok. Posisi mereka yang membelakangi pintu masuk memang tak menyadari kedatanganku. Namun, seseorang tiba-tiba mengagetkanku dengan suaranya yang agak lantang berteriak.

"Arsyra, sini, Dek," panggil kak Rachmat hingga membuat semua orang menoleh ke arahku.

Awalnya aku pikir hanya seorang diri perempuan, sebelum kak Dinda keluar dari dapur dengan membawa teko yang sudah berisi minuman dingin. Aku harus membantunya? Tentu saja tidak.

Aku menghampiri mereka, tetapi belum sempat aku mendekat, bang Adi sudah memberi kode untuk menyusul kak Dinda ke dapur. Mungkin masih ada sesuatu yang harus disediakan lagi, entahlah yang pasti aku tak menurutinya dengan memilih terus melangkah mendekat ke arah kak Rachmat.

Jika hari ini aku dicap sebagai perempuan pembangkang, itu akan lebih baik daripada harus selalu tunduk dan patuh pada perintah senior yang tak berdasar.

"Mulai sudah dia tuh, balik dari Munas berasa setara sama senior jadi gak mau lagi disuruh-suruh. Gak ada lagi etikanya sama senior," sahut salah satu dari mereka yang tidak aku kenal.

"Maaf, Bang. Bukan masalah senior atau junior, tapi kebiasaan Abang-abang ini yang selalunya mau nyuruh-nyuruh," kataku menatapnya dengan tajam.

Dia memang pengurus Cabang, tapi setahuku dia pun masih junior dari kak Dinda.

"Ini? Beginikah modelnya kadermu di komisariat, Di?"

Spontan aku tersenyum ketika melihat dia berbalik menyerang Bang Adi. Belum lewat berapa detik ia mengingatkan masalah etika ke senior, tetapi diri sendiri sudah memberi contoh langsung.

"Bang, belum juga aku tinggalkan tempatku ini. Kamu sudah contohkan etika yang betul? Aku sama teman-teman di komisariat saja tidak pernah bentak-bentak bang Adi seperti itu. Kalau memang masalahnya cuma karena tidak ada yang bantu Kak Dinda, kenapa bukan kamu saja yang berinisiatif? Kenapa harus membentak-bentak seniorku?"

Aku masih membalasnya dengan nada suara yang lembut. Bukan karena takut, tetapi karena di sini ada kak Rachmat yang harus dihormati sebagai senior sekaligus tamu.

"Sudah, sudah ... Ayo, dek Arsyra duduk sini dulu." Kak Rachmat mencoba melerai dan kembali memanggilku untuk duduk di sampingnya.

Ia sedikit terkekeh menatapku. Sementara lelaki tadi yang tidak aku ketahui namanya masih saja memberikan tatapan permusuhan. Bukankah memang pengurus cabang tak pernah suka dengan anak-anak dari Komisariatku, jadi rasanya sudah wajar.

"Sudah tahu tugasmu besok apa, Dek?"

"Belum, Kak. Aku pikir sama aja seperti aksi sebelumnya. Orasi, sampaikan apa yang memang perlu disampaikan di depan publik sesuai dengan fakta," jawabku.

"Iya, memang sudah benar begitu, tapi sebagai asisten koordinator lapangan tugasnya jelas bukan cuma itu."

Aku mengernyitkan alis, bingung. Lalu, apa lagi tugasku besok? Memang ada hal apa saja yang belum aku ketahui soal ini? Ah, selama ini aku hanya selalu diikut sertakan dalam berbagai aksi tapi tak satu pun senior yang menjelaskannya.

"Jadi, tugasnya Arsyra besok adalah bagaimana caranya biar bisa bantu Korlap kendalikan massa. Ingat, jumlah massa yang ikut aksi besok itu ribuan. Mulai sekarang pikirkan kalimat dan gaya bicaramu seperti apa yang bisa menghipnotis seluruh massa agar bisa dengan sukarela mengikuti instruksimu. Karena keselamatan mereka itu tanggungjawabmu, pokoknya atur sebaik mungkin strategi untuk menghindari terjadinya chaos."

"Hah? Harus seperti itu?"

Jelas saja aku kaget. Bagaimana mungkin seorang Arsyraina si perempuan kecil ini bisa melakukannya. Tanggungjawab itu besar sekali, rasanya aku ingin menangis sekarang juga mengingat kejamnya senior yang menjebakku kali ini. Mereka ke mana? Mengapa harus aku yang ditunjuk berada di posisi itu? Padahal masih ada banyak pengurus Cabang yang lebih mumpuni dari aku yang memang masih baru di Komisariat.

'Pantas saja Rasyad begitu khawatir, ternyata memang tanggungjawabnya sebesar itu.' Pikirku yang tiba-tiba mengingat Rasyad.

Aku baru mengerti mengapa ia meragukan dan terkesan tidak mengizinkan, karena dialah satu-satunya yang paham dengan tingkat pengetahuanku dibanding senior yang lebih dulu mendidikku di sini.

"Jadi, sudah dipikirkan?" Kak Rachmat kembali bertanya dan melihat reaksiku.

Aku mengangguk sedikit ragu, tapi bukankan ada Rasyad yang akan selalu membekaliku dengan banyak pengalaman dan pengetahuan. Jadi, untuk apa aku takut?

"Karena begini, Dek. Besok itu besar kemungkinan akan terjadi chaos, karena semua aparat keamanan ini satu komando dari atas. Kalau yang atas bilang A berarti A tidak boleh belok ke B," jelasnya panjang lebar.

Ya, aku sudah mengetahui ini dari Rasyad.

•°°•°°•°°•°°•°°•

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang