Written by HasrianiHamz
🍫🍫🍫🍫
Dua hari setelah malam itu, aku baru menginjakkan kaki ke kampus. Melihat dunia mahasiswa yang sempat kutinggalkan beberapa pekan kemarin. Kupikir akan ada yang berbeda, ternyata semuanya tetap sama. Senior yang biasanya duduk santai saling membual dan menyombongkan diri dengan bekal kejayaan seniornya di masa lalu, suaranya yang terus menggema sepanjang malam hingga menjelang subuh. Semuanya belum berubah, dan mungkin memang tidak akan pernah.
Aku yang baru menampakkan wajah tentu saja berhasil menarik perhatian mereka. Memang begitu, tatapan mereka layaknya seorang juri yang menilai penampilanmu, tapi percayalah di wajahmu tidak ada sesuatu yang aneh, kok.
"Assalamu'alaikum ...."
"Wa'alaikumsalam, Yunda."
Balasnya, beberapa detik sebelum aku dipersilakan duduk bagai seorang ratu. Aku tahu, mereka tengah mengejekku. Sangat jelas terlihat dari tatapan dan caranya melontarkan kalimat manis itu.
"Eh, Yunda perwakilan cabang sudah datang."
"Kamu ... kasih tempat Yundamu itu, nah."
"Duduk sini aja, Yunda."
"Ciee ... yang aura ketuanya terpancar. Jangan coba-coba ngajak diskusi lagi, deh."
Sekilas terdengar seperti kalimat pujian, tetapi jika telinga dan hati lebih peka sebenarnya semua kalimat itu adalah ejekan yang sengaja dibungkus cantik. Mereka para senior tidak akan menyapa juniornya seperti itu. Panggilan "Yunda" dalam organisasi kita hanya diperuntukkan ke senior perempuan, sedangkan aku? Kedudukanku sangat jauh di bawah mereka.
Jika sudah seperti ini, siapa yang harus disalahkan? Aku? Ya, sudah pasti aku lagi. Tidak mungkin senior disalahkan sekalipun mereka tidak benar. Itulah alasan mengapa aku hanya terus diam dan tak berniat sedikit pun unuk membalas.
Memang salahku yang terlalu penurut. Setelah ini, baiknya aku mencoba hal yang baru agaknya menjadi pembangkan mungkin bisa lebih didengarkan.
Tak ada kalimat yang sempat kuucapkan dari sekian lama aku berdiri hingga aku memilih untuk melalui mereka. Aku hanya ingin masuk dan mencari apapun di dalam sekret sana yang menjadi milikku. Rasanya aku tidak ingin lagi menampakkan wajah di sini.
Benar kata Rasyad, kita seharusnya berada di tempat di mana bisa dihargai tanpa harus dipaksa menjadi orang lain.
Tempat ini adalah tempat ternyaman selama aku kuliah dan bergabung di organisasi. Namun, kenyamanan itu seakan menghilang dengan perlahan hingga kini yang terasa lebih dominan adalah kehampaan. Akhirnya, aku menjadi asing di rumah sendiri. Mungkin bukan mereka yang tidak mengenaliku, tetapi sebaliknya akulah yang tidak mengenal siapa yang berada di depanku sekarang.
Tak ingin terlalu lama di sini. Aku buru-buru masuk dan mencari sesuatu yang ingin kuambil sebelumnya. Paper bag makanan yang diberikan oleh bang Adi sewaktu perjalanan pulang, tapi karena malam itu aku ketiduran jadi aku hanya ingat menurunkan pakaianku saja.
Kemarin dipanggil langsung oleh bang Adi, hanya saja aku masih terlalu malas untuk keluar. Rasanya rebahan di kost jauh lebih baik.
Akan tetapi, setelah aku mendapati paper bag itu. Aku tersenyum miris ketika yang tersisa hanya bungkusannya. Bukan tidak ingin berbagi, tetapi bisakah sedikit lebih menghargai? Sekalipun akulah yang terbilang paling muda, meski masih ada beberapa angkatan di bawahku.
Pulang, menjauh, tidak muncul lagi sepertinya adalah pilihan yang paling tepat. Tidak peduli jika saat ini keputusan yang kubuat saat tengah emosi.
Benar, aku hanya perlu keluar dari lingkaran ini.
Seperti biasa, tempat kembali ternyaman seolah hanya kepada Rasyad. Dan, bisa kubilang semesta sangat mendukung. Buktinya, saat aku tak bisa lagi menjangkau tempatnya, justru tempat itulah yang menghampiriku.
Dering telepon di dalam ranselku terus menggema dengan nyaring. Aku sempat tak peduli, tapi tanganku tetap saja tergerak oleh perintah otak karena rasa penasaran dan harapan yang melebur. Aku memang berharap bahwa itu Rasyad dan bahkan di setiap notifikasi aku hanya berharap selalu itu darinya.
"Jadi, aku harus apa, Rasyad?" keluhku ketika ia tiba-tiba saja menceramahiku bahkan sebelum aku mengadukan semuanya.
"Ya, tidak usah ngapa-ngapain, toh? Memang Sera mau apa?"
"Mungkin cari tempat di mana aku bisa dihargai, dan didengar seperti saran Rasyad tempo hari," jawabku sedikit lesu.
"Ededeeh ... kapan lagi kukasih saran begitu ke Sera?"
"Kemarin, Rasyad, kemariiiin. Iiih jengkelnya aku, nah."
Aku terus saja menggerutu meski di seberang sana sudah terdengar suara Rasyad yang tertawa. Apa iya dia sepikun itu? Sampai perkataannya yang bahkan belum dua puluh empat jam ia ucapkan sudah terlupa.
Aku diam, hingga beberapa kali Rasyad memanggil baru membuatku kembali membuka suara. Kukatakan apa yang seharusnya tidak perlu ia ketahui tentang seniorku, masalahku dan yang baru saja kualami tanpa memikirkan perasaannya. Bisa saja ia bosan, atau mungkin tidak nyaman tapi aku tidak pedulikan itu. Aku benar-benar melampiaskan semua amarahku padanya. Meski ini yang pertama kali, tapi anehnya ia begitu cepat mengerti bahwa aku hanya ingin didengar. Ia terus menjawab dengan kata "hem" di akhir kalimat atau di setiap aku menjeda ucapanku hanya agar aku mengetahui bahwa ia masih berada di sana mendengarkan.
Beberapa menit saat aku kembali diam, ia baru mencoba menyapa. Mungkin masih menunggu, atau bisa saja ia justru sudah bosan dengan ceritaku. Tak ada yang tahu, apakah aku sudah mengganggu aktivitasnya ataukah merenggut waktu istirahatnya. Yang aku tahu, aku sudah merasa sedikit lega, dan perasaanku sudah kembali membaik. Seampuh itu auranya mempengaruhi emosional seseorang, bahkan hanya dengan mendengar suaranya yang menenangkan.
"Jadi?" tanyanya yang membuatku sedikit bingung.
"Jadi apa?"
"Jadi, bagaiamana mi itu perasaannya Sera?" Ia kembali mengulang pertanyaannya dengan menambahkan kalimat penjelasan.
Ia memang mengerti daya pikir dan kemampuan analisku yang di bawah rata-rata. Untuk mendapatkan jawaban sesuai keinginan, harus juga melengkapi kalimat dan memperjelas pertanyaannya.
"Ya, baik aja. Memang kenapa dengan perasaanku?"
Aku spontan menjawab usai Rasyad kembali memanggilku dari seberang telepon.
"He'eh mau betul ki kucubit hidungnya Sera ini," katanya dengan sedikit geregetan.
"Terus? Aku harus jawab apa?"
"Nda mi, lupakan saja. Yang penting perasaannya sudah baikan habis marah-marahi ka toh."
"Iiissh ... Rasyad ini, nah."
Mungkin terdengar sedikit manja dan alay bagi orang lain. Namun, kalian harus percaya jika bagi Rasyad itu katanya adalah ciri khas dari seorang Arsyraina dan ia tak mempermasalahkan hal itu. Justru ia lebih sering menghubungi dan menjahiliku hanya agar aku bermanja seperti itu padanya.
"Apa? Kenapa ka lagi saya, kah? Dedeeh ... Sera ini selalunya mi merasa terdzolimi kalau bicarai sama saya."
"Apa?" kataku ingin memperjelas ucapannya barusan. Bukannya tidak mendengar, aku memang selalu suka mendengar suaranya yang khas dengan menggunakan dialek Makassarnya itu.
"Nda dengar lagi? Kukasih tauki ini nah, kalau belliki pentolan atau siomay, cilok atau apakah namanya di Kalimantan. Simpan ki itu tusuknya nah, kita pake bersihkan ki itu telinganya Sera biar tidak ii lagi banta-banta kalau orang Bugis bilang," katanya panjang lebar yang diakhiri dengan kekehan di seberang sana. Padahal aku sudah serius mendengarkan dari awal, aku pikir pesan apa ternyata ia hanya meledekku.
Rasyad memang selalu bisa membuat bibirku tertarik membentuk sebuah lekukan hanya dengan hal-hal konyol seperti itu. Bahagia? Tentu saja, sepertinya itu memang sudah menjadi keahliannya dan candu bagiku.
'Terima kasih sudah menjadi tempat ternyaman untukku'
****
Happy Satnight ✨
Jomblo dilarang senyum² sendiri 🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Fiksi RemajaBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...