🥨🥜🥨🥜
Sepekan sudah aku menjadi seseorang yang berbeda bagi senior, sudah bisa dipastikan siapa pelakunya. Entah, susah sekali menyembunyikan hal seperti ini yang akhirnya akan terendus juga. Aku sudah menekankan sejak awal pada kak Zio, nyatanya mereka seperti sudah paham dan hanya kak Ezar yang masih menganggap itu hanya gosip belaka.
"Beneran, Del?" tanya kak Devi.
"Hm?" Aku mengerutkan kening, tidak berhasil menebak ke mana arah pembicaraannya.
"Kamu sama Zio beneran udah jadi?"
"Kak Devi tahu dari mana?"
"Anak-anak pada ngomongin, tapi kalau emang iya sih aku bisa tebak itu pas kapan."
Aku tidak menjawab, senyum yang diiringi menyipitkan mata mungkin terasa sangat garing. Aku memang malas membahas ini, terlebih jika sedang berada di kampus apalagi dekat area Sekret. Ya. Aku duduk di bawah payung-payung, tidak lagi melemparkan diri ke kandang singa depan Sekretariat karena sudah jelas di sana tempat siapa.
"Oh iya, kak Devi kenal sama Esme?" tanyaku beberapa saat setelah mengingat sesuatu.
"Esme siapa?"
"Reneesme kalau gak salah namanya, sih."
"Oh, iya. Dia kader juga, teman seangkatan Diani. Kenapa? Wait! Jangan-jangan ... "
Aku ikut menaikkan sebelah alis saat kak Devi mendadak menatap intens, nomor semalam yang menghubungiku ternyata milik orang yang sama di akun messenger. Akun anonim yang beberapa kali mengajakku bertemu, jauh dari sebelum itu aku sama sekali tidak tertarik sampai dia menyebut satu nama. Ziovani Dafareza.
"Kenapa, Kak?" tanyaku saat perempuan ini tidak kunjung bersuara.
"Nggak apa-apa, dia mantannya Zio."
O bundar segera menguasai ekspresiku, mungkin bukan informasi yang mengejutkan karena sejak awal aku sedikit paham ke mana arah pembahasan jika memang menyetujui bertemu dengannya. Bukan tidak ingin mendengar, aku sudah membalas obrolan dan memintanya menjelaskan secara singkat apa yang akan dibahas. Namun, perempuan itu lebih keras ingin bertemu, sempat kutawarkan di area dekat Sekretariat tapi dia tidak menyetujuinya.
Alasannya pun tidak dijelaskan, hanya saja aku sedikit pintar untuk bisa membaca kenapa keaktifannya dalam organisasi sangat minim.
"Orangnya yang mana sih, Kak?"
"Anak Mahasiswa Pecinta Masjid, itu yang satu geng biasa di sana bantu-bantu menjelang waktu sholat."
"Ah, pecinta Masjid. Dia juga kader, 'kan? Kok nggak pernah kelihatan di sini dari awal aku masuk?"
"Entah. Mungkin dia dan geng nggak sepakat kalau persaudaraan laki-laki dan perempuan di sini sangat dekat, kayak nggak ada batas dan mereka maunya mungkin perempuan ya cukup dengan perempuan saja."
Tidak ada yang salah, aku juga mendukung pemikiran itu karena setelah masuk ternyata ada beberapa hal yang membuat tercengang. Jika Esme dan gengnya menjauh karena tidak ingin disebut sebagai perempuan Salfa*, sebenarnya aku juga ingin tapi ini langkah pertamaku sebelum mungkin nantinya akan memisah diri. Entah kapan.
Aku masih terdiam, pekan depan sudah mulai semester baru dan sepertinya hariku akan semakin sibuk. Selain mulai aktif kajian dan belajar di Sekret, sepertinya kali ini aku tidak boleh lengah memasuki kelas jika tidak ingin tertinggal. Setelah Sindi, aku sudah menemukan dua orang lagi yang memiliki kemampuan setara bahkan lebih dari apa yang aku punya.
"Laki kok mulutnya lemes banget," ujar Ghina.
"Lah, bibir emang nggak ada tulang, Ghin. Pantes aja kalau lemes, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...