Written by HasrianiHamz
☕☕☕☕☕
"Kak, minta bah aku nomornya Abang ganteng," pinta Alma dengan memasang ekspresi memohon, membuat wajahnya terlihat lucu.
"Ih, si Alma ini bah," tegur Umi seraya menyikut lengan Alma.
Namun, hal itu tidak dipedulikan sama sekali oleh Alma. Sekilas aku melihat ke arahnya, memastikan kalau dia tidak sedang khilaf menyebut bahwa Rasyad itu ganteng.
Kembali lagi membahas persoalan ganteng atau cantiknya seseorang, biasanya tergantung dari sudut pandang masing-masing orang. Bisa jadi, tolak ukur ganteng versi dia denganku memang berbeda. Dan mungkin juga karena selama di sini aku selalu bertemu Rasyad setiap hari, jadi aku merasa biasa saja saat melihatnya. Atau mungkin saja karena aku yang tidak serius memperhatikannya selama ini. Begitu banyak kata mungkin. Tapi masa bodoh dengan itu semua, lagi pula apa masalahnya denganku kalau memang dia ganteng seperti yang dikatakan Alma.Aku membuka kontak dan mengetik nama Rasyad di pencarian sebelum mengulurkan ponselku ke Alma, dia terlihat begitu senang menyalin nomor lelaki yang sangat diidolakannya.
"Makasih, Kak!" seru Alma seraya mengembalikan ponsel yang kubalas hanya dengan senyum.
Semoga Rasyad tidak marah nomornya kuberikan pada orang lain tanpa izin, tapi ia tidak akan tahu kalau Alma tidak membocorkan.
"Beruntungnya kak Arsyra, Alma juga mau kayak kakak bisa dekat sama bang Rasyad seperti itu. Pasti dijaga terus, diperhatikan, disayang-sayang ... aahh, pokoknya mau," cerocos Alma seolah sejenak lupa cara bernapas.
Sepertinya ia sedang membayangkan sosok Rasyad seperti yang disebutkan barusan, kondisi yang mungkin akan membuatnya tercengang saat mengetahui aslinya.
"Tidak Alma, dia tidak seperti yang kamu bayangkan."
Inginku berteriak agar ia segera menghentikan khayalan itu, sebelum semua kecewa datang saat ia mengenal siapa Rasyad sebenarnya.
"Heh, sudah ... sudah, habiskan dulu makanmu baru kita lanjut keliling." k
Kali ini, Nurul membuka suara setelah dari tadi ia memilih diam.Aku pun sama, sedari tadi hanya diam dan sesekali menjawab jika memang perlu membuka suara. Bukan karena tidak cocok dengan mereka. Sebenarnya, beradaptasi dengan orang baru bukan hal yang sulit kulakukan, hanya saja aku selalu memilih diam dan memperhatikan di setiap pertemuan pertama. Aku tidak ingin tergesa-gesa menunjukkan sifat asli seorang Arsyraina kepada orang asing, biarkan saja mereka menilaiku terlebih dahulu dengan sudut pandangnya masing-masing.
Di saat serunya memperhatikan Alma dan Umi, tiba-tiba ponselku berdering membuat keduanya spontan menoleh ke sumber suara. Dengan cepat Alma menjulurkan kepalanya tepat ke atas layar ponselku, melihat nama yang sudah ditampilkan di sana.
"Kakak, itu bang Rasyad!" pekik Alma, "angkat bah, Kak. Angkat!" serunya geregetan.
Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya meringis menatapnya dengan miris. Sebegitunya gadis ini mengagumi seorang Rasyad, lelaki yang sangat jauh dari ekspektasinya.
"Hallo."
"Assalamu'alaikum, Sera"
Sapaanku ternyata bersamaan dengan Rasyad, menghadirkan momen awkward yang kuharap tidak mereka tangkap.
"Ya. Wa'alaikumsalam."
Aku segera menjawabnya dengan cepat dan mendengar ia hanya terkekeh di seberang sana.
"Saya sudah sampai rumah."
Tak ada angin tak ada hujan, ia tiba-tiba memberitahuku padahal aku tidak sedang bertanya sama sekali.
"Alhamdulillah," jawabku sedikit cuek.
Ke mana saja seharian baru sempat mengabari? batinku.
Aku memutar bola mata malas, padahal di sisi lain aku merasa sangat senang bisa mendengar suaranya lagi.
"Sera, di mana? Eh, itu foto Sera dapat dari mana?" tanyanya.
Oh pantas, paling dia hanya ingin menanyakan hal itu makanya memaksakan diri untuk menelepon dan berbasa-basi dengan memberi kabar. Dasar lelaki.
Batinku terus bergejolak, merasa bosan dengan alasan yang dia buat untuk membangun obrolan.
"Di warung, sama teman-teman, fotonya dari bang Dika."
"Oh iya iya ... Oke. Sera, saya mau mandi dul--"
"Mandi malam? Kenapa tidak dari sore?" tanyaku langsung memotong ucapannya, meklaim kebiasaan yang memang tidak bisa menjaga kesehatannya.
"Kan, saya bilang baru sampai rumah," katanya dengan intonasi khas seorang Rasyad ketika memberi penegasan.
Hah? Baru sampai jam segini? Habis keluyuran dari mana saja, Bang?
"Tadi saya langsung ke sekret bertemu senior," ucapnya seolah menjawab pertanyaanku padahal kalimat itu hanya kugumamkan dalam hati. "Biasalah klo ketemu senior, suka lupa waktu hehe ...." lanjutnya.
Aku mendengus sebelum mengiyakan dan menjawab salamnya, memutus sambungan telepon begitu saja. Jangan tanya Alma yang sedari tadi diam menyimak obrolanku, tiba-tiba memekik senang setelah memastikan telepon sudah benar-benar mati.
"Ya Allah, Kak! Aku jatuh cinta!"
Teriakannya berhasil menarik perhatian beberapa pengunjung di dalam warung itu menoleh ke meja kita, sedang aku dan Nurul hanya saling pandang sebelum kembali menyeruput minuman masing-masing. Berusaha bersikap biasa saja meski sebenarnya sedikit malu menjadi pusat perhatian seperti ini.
Jalan dengan mereka memang asyik, sampai tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam padahal kita keluarnya dari ba'da Ashr tadi. Sebenarnya masih ingin berkeliling, tetapi pihak panitia sudah menunggu mobil yang akan digunakan. Mengapa waktu selalu berlaku seenaknya, tadi saja aku dibuat bosan menunggu datangnya malam dengan perputaran waktu yang sangat lambat. Sekarang, aku masih ingin menikmatinya malah berputar dengan cepat. Perasaan baru saja aku keluar, tertawa dan dihibur dengan tingkah Alma yang super aktif. Kini, aku sudah harus kembali terkurung di ruangan luas yang terasa sempit ini.
Syukur ada mereka, hampir saja aku mati kebosanan karena lebih banyak bersantai jika tidak segera diajak keluar. Tidak terbayang bagaimana sedihnya seniorku ketika mendengar adik kesayangannya telah tiada. Ahh dramatis sekali. Aku terkekeh membayangkannya.
Keluar dari kamar mandi, tidak ada benda lain yang kusentuh pertama kecuali gawai yang sudah tergeletak manja di atas tempat tidur. Benda ini begitu penting untuk sekarang, karena aku hanya bisa pulang dengan tiket yang akan dikirim ke sini.
Belum berapa lama kurebahkan tubuh, notifikasi pesan grup sudah berbunyi berulang kali. Aku hanya menggeser tanpa berniat membuka room chat apalagi sampai ikut nimbrung di dalamnya.
Pesan dari Nurul sekilas kubaca, hampir saja kuabaikan jika tidak melihat kata 'pulang' dalam katikannya. Ternyata ia menyuruhku segera membuka pesan yang baru saja di kirim ke grup untuk melihat jadwal kepulangan gelombang kedua. Dan aku tidak tahu, harus senang atau sedih setelah melihat jadwalnya.
Sedihnya, karena semua peserta dari Kalimantan masih menunggu untuk dua hari ke depan. Senangnya aku akan pulang bersama Nurul, Alma dan Umi yang akan menghibur selama perjalanan. Selain itu, kebersamaan seperti ini biasanya akan menimbulkan keakraban dan menjalin komunikasi berlangsung cukup lama.
Saatnya bersiap menjelajah di kota metropolitan, anggap saja sekaligua travelling. Dari pada jenuh menunggu waktu pulang, baiknya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk bersenang-senang. Kapan lagi bisa seperti ini, tour guide-nya gratis plus kendaraan juga. Aku harus memanfaatkannya dengan segera, setidaknya ada oleh-oleh cerita yang akan kubawa.
---- °• ----
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
TienerfictieBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...