6. Sebuah pilihan matang

1.6K 149 15
                                    

Ku harap kalian mengerti, bahwa voted dan komen kalian menentukan sekali cerita ini akan lanjut atau tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ku harap kalian mengerti, bahwa voted dan komen kalian menentukan sekali cerita ini akan lanjut atau tidak.

___________________________


Langkahnya berayun sedang, berjalan berlawanan dengan arus para perawat yang tergesa-gesa memasuki tiap ruang pasien. Sementara Masen beserta tekadnya, yang ingin menemui kembali gadis hantu yang telah membuatnya terpesona kemarin. Gadis misterius sinting yang bisa mengelabui akalnya, seakan percaya bahwa dia bukanlah pasien, gadis itu tidak gila, tidak seperti orang gila.

"Ow.. kebetulan sekali, apakah makanan itu untuk kamar 217?" Tanyanya ketika berpapasan dengan seorang perawat wanita yang manis.

Perawat itu mengangguk, sambil matanya tak pernah beralih pada tiap lekuk tegas paripurna wajah bule Jepang itu.

Sepertinya belum pernah ada pembahasan mengenai detail wajah Masen yang gagah, tulang pipi tajam melekuk seksi, hidung yang tinggi, mata coklat, serta alis dan bibir yang elok dengan tata letak rapi dipersembahkan tuhan yang piawai menciptakan man...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepertinya belum pernah ada pembahasan mengenai detail wajah Masen yang gagah, tulang pipi tajam melekuk seksi, hidung yang tinggi, mata coklat, serta alis dan bibir yang elok dengan tata letak rapi dipersembahkan tuhan yang piawai menciptakan manusia.

"Boleh aku saja yang membawakannya?" Tawar Masen menyentuh tangan perawat itu yang sedang menggenggam nampan, pastinya dengan tatapan dalam nan hangat ala buaya nya.

"Aku akan dapat apa jika memberinya?" Bisik perawat itu mendayu.

"Apa yang kau mau?"

"Makan siang gratis selama satu minggu!"

Masen berdecih, "tipe wanita hanya dua, binal atau matre. Kau ternyata tipe yang kedua."

"Aku tunggu traktirannya," ucap perawat itu dengan satu kedipan sembari mengalih tugaskan nampan itu pada Masen.

"Baiklah."

Lantas Masen mulai menaiki tangga memutar itu menuju lantai dua, berjalan dengan penuh semangat. Apalagi kala ia mulai menyentuh tuas pintu dan membukanya, memperlihatkan kamar redup dengan pencahayaan hanya dari jendela tidak terlalu besar. Disana pun, si pemilik kamar terlihat hanya memandangi deret panjang pohon apel di luaran sana. Dengan rambut bergelombang panjang dan dres putih khasnya, juga hening pastinya.

Mantra Wanita Sinting Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang