20. Sudut Pandang Layla

1.8K 231 19
                                    

"Aku bukan ingin mati, aku hanya ingin hidup di tempat yang aku inginkan."
-Layla

Layla Point Of View.

𝙃𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙍𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜.
________________

Aku harus sempurna.

Aku harus pintar.

Aku harus terampil.

Aku harus berbakat.

Aku tidak boleh mengecewakan.

Dengan begitu aku dan wanita itu bisa hidup lebih lama.

Tapi, apakah benar begitu?.

Apakah harus mengorbankan semua perasaanku dan kehidupanku demi meraih ini semua?.

Aku menoleh pada jendela kamarku, lebih tepatnya pada gumpalan awan yang menutupi langit biru sana.

Aku tersenyum tipis, dulu saat aku kecil aku sangat suka memandangi awan. Dan jika membahas tentang awan, hal yang selalu terlintas di pikiranku adalah..

Bagaimana jika seandainya di kehidupan selanjutnya aku menjadi bagian dari awan?.

Terlihat mengambang dan melayang tanpa adanya beban di langit lepas.

Bukan kah itu menyenangkan?.

Aku memejamkan mataku sejenak, merasakan semilir angin yang masuk lewat jendelaku yang terbuka.

Seandainya nya saja...

Seandainya saja kehidupan kedua itu ada.

"Layla! Berhenti menatap ke luar dan fokus pada pelajaran kali ini!" Suara bentakan seorang wanita dan suara tebasan dari penggaris kayu membuatku kembali sadar pada kenyataan.

Aku mendongak menatap wanita yang baru saja membentakku, sejenak aku lupa siapa dia.

Atau, memang sebenarnya aku tidak mengenalnya?.

Ah tunggu, aku mulai ingat siapa dia.

Wanita itu adalah ibuku, orang yang sudah aku lupakan sosoknya sejak aku masih kecil.

Ibuku menghela nafas lelah sembari menggenggam tanganku erat, sangat erat sehingga aku merasa jari-jariku bisa patah karena genggamannya.

Manik matanya menatapku dalam, tangannya yang kurus bergetar seolah berusaha memberi tahu betapa takutnya dia jika aku gagal.

"Bersungguh-sungguh lah Layla, jika seperti ini kita akan di buang. Bukan kah kamu mencintaiku? Jadilah sempurna Layla. Aku tahu kamu bisa jadi anak yang sempurna." Ucap nya.

Cinta? Apakah aku mencintai ibuku?.

Aku menatap sejenak wajah ibuku yang pucat dan tidak terurus itu. "Ibu, apakah kamu mencintaiku?" Tanyaku pada nya.

Kedua tangan ibuku kini memegang kedua pundakku dengan kasar. "Tentu saja aku mencintaimu! Kamu adalah anakku, anakku yang sempurna dan harus tetap sempurna." Ucap nya sembari memelukku dengan erat.

Tidak ibu, kamu berbohong.

Kamu tidak pernah mencintaiku.

Manik mataku menatap pada sebuah foto keluarga yang tergantung rapi di dinding kamarku. Seketika memori masa lalu terputar kembali di kepalaku.

Memori yang menjadi titik awal dari segala kejadian yang mengubah hidupku ke arah yang mengerikan.

Saat itu aku berumur tujuh tahun, dan itu adalah hari ulang tahunku.

Aku masih ingat dengan jelas suasana pada saat itu. Dimana ibuku masih "sehat" Dan ayahku masih bertanggung jawab selayaknya kepala keluarga untuk kami.

Calon Menantu! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang