(17)-Langkah Terakhir

30 13 0
                                    

•HAPPY READING•

***

Waktu terus berjalan dengan cepat, dan ujian akhir semakin mendekat. Suasana di sekolah mulai dipenuhi oleh ketegangan dan kesibukan.

Setiap siswa, termasuk Riza dan teman-temannya, terjebak dalam persiapan menghadapi hari-hari terakhir di SMA. Meski fokus pada ujian, perasaan tentang perpisahan semakin nyata bagi mereka semua.

Di kelas, Riza merasa perasaan aneh semakin menghantuinya. Setiap kali dia melihat wajah teman-temannya, dia mulai membayangkan bahwa setelah ini, mereka mungkin tidak akan sering bertemu lagi.

Rina, Bintang, dan Andi adalah bagian penting dari hidupnya selama tiga tahun terakhir, dan sulit membayangkan masa depan tanpa mereka di sisinya.

Suatu siang, ketika istirahat berlangsung, Rina mengajak Riza, Bintang, dan Andi untuk berkumpul di taman sekolah, di tempat mereka biasa nongkrong bersama. Suasana hati mereka sedikit murung, dan percakapan yang biasanya penuh canda tawa kali ini terasa lebih serius.

“Aku masih nggak percaya kita bakal lulus sebentar lagi,” kata Rina sambil memainkan rumput di kakinya. “Rasanya baru kemarin kita masuk sekolah dan bertemu di kelas ini.”

Bintang mengangguk, meskipun senyumnya yang ceria masih berusaha hadir. “Iya, dan aku nggak tahu gimana nanti setelah kita pisah. Mungkin bakal aneh nggak ketemu kalian setiap hari.”

Andi, seperti biasa, hanya mengangguk pelan tanpa bicara banyak. Namun, semua tahu bahwa dia merasakan hal yang sama.

Riza menatap teman-temannya satu per satu. Dia merasakan kehangatan dan kesedihan sekaligus.

“Kita nggak harus pisah selamanya, kan? Meski kita mungkin nggak bisa selalu bareng, tapi kita bisa tetap saling kontak. Ini bukan akhir dari segalanya.”

Rina menghela napas panjang. “Aku tahu, tapi rasanya tetap aja nggak akan sama lagi. Nggak ada lagi kebersamaan kayak sekarang.”

Percakapan itu terganggu ketika seorang guru datang dan mengingatkan mereka untuk kembali ke kelas. Mereka mengangguk dan mulai berjalan menuju ruang kelas, tetapi perasaan melankolis itu masih ada di hati mereka.

Keesokan harinya

Riza mendapatkan pesan dari Dani. Ini hal yang mengejutkan baginya, mengingat mereka jarang berkomunikasi setelah percakapan terakhir di lapangan basket.

“Za, bisakah kita bicara lagi? Aku butuh saran,” bunyi pesan singkat itu.

Riza setuju dan bertemu Dani di tempat yang sama seperti sebelumnya, di lapangan basket yang sepi setelah jam sekolah selesai. Dani terlihat lebih tenang, meski ada sedikit keraguan di wajahnya.

“Ada apa, Dan?” tanya Riza ketika dia duduk di samping Dani.

Dani menatap tanah sejenak sebelum berbicara.

“Aku mikir tentang apa yang kau katakan waktu itu. Tentang mencari kedamaian dalam diri sendiri. Aku masih bingung, tapi aku mulai sadar kalau aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Aku nggak bisa hidup hanya untuk menyenangkan orang lain, atau membuktikan sesuatu ke orang lain.”

Riza mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa ini adalah proses panjang bagi Dani, tetapi kemajuan ini menunjukkan bahwa Dani mulai berubah.

“Aku senang kau mulai memikirkan hal itu, Dan,” kata Riza dengan tulus. “Itu langkah pertama yang paling penting. Kau nggak harus buru-buru menemukan jawabannya, yang penting kau sudah berani untuk mulai mencari.”

Dani tersenyum samar. “Aku juga mikir buat ngelanjutin kuliah, meskipun rencanaku masih belum jelas. Tapi setidaknya aku mau mencoba.”

Riza merasa lega mendengar hal itu. Dani, yang dulu selalu tampak keras dan sulit dijangkau, kini mulai membuka dirinya untuk perubahan. Meskipun jalan di depan mereka berdua masih panjang dan penuh ketidakpastian, Riza merasa yakin bahwa Dani akan menemukan jalannya sendiri.

Mereka berdua berbincang sejenak, berbagi cerita tentang masa depan dan rencana masing-masing setelah lulus. Meskipun hubungan mereka masih belum bisa disebut sebagai persahabatan dekat, ada rasa saling menghormati yang tumbuh di antara mereka. Kedamaian kecil telah tercapai.

Hari Ujian Akhir

Momen yang dinantikan sekaligus ditakuti oleh semua siswa akhirnya tiba. Ujian akhir dimulai, dan sekolah dipenuhi dengan suasana tegang. Semua siswa berusaha melakukan yang terbaik, termasuk Riza dan teman-temannya.

Riza merasa cukup percaya diri, meskipun ada sedikit rasa cemas seperti siswa lainnya. Namun, ketika dia menatap lembar soal, dia teringat semua perjuangannya selama tiga tahun terakhir.

Dia telah melalui banyak hal, baik secara akademis maupun pribadi. Dia menyadari bahwa ujian ini bukan hanya tentang soal-soal yang ada di hadapannya, tetapi juga ujian kehidupan yang telah membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat.

Setelah ujian berakhir, semua siswa merasa lega. Beban besar yang selama ini mereka pikul akhirnya terlepas. Namun, suasana hati tetap campur aduk karena ini juga berarti akhir dari masa-masa mereka di sekolah.

Malam itu, Rina mengirim pesan ke grup mereka. Dia mengajak Riza, Bintang, dan Andi untuk bertemu di tempat nongkrong favorit mereka sebagai perayaan kecil setelah ujian selesai. Mereka semua setuju.

Di malam yang penuh bintang itu, mereka berkumpul untuk terakhir kalinya sebagai siswa SMA. Meskipun tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan kata perpisahan, semuanya tahu bahwa malam itu adalah malam yang istimewa.

Mereka berbagi tawa, cerita, dan kenangan, seolah-olah mencoba untuk mengabadikan setiap momen yang mereka miliki bersama.

Bintang, dengan gayanya yang ceria, mengangkat gelas minuman ringannya dan berkata, “Untuk kita semua, teman-teman. Apapun yang terjadi setelah ini, kita harus tetap saling jaga. Kita udah melalui banyak hal, dan aku yakin, kita bisa terus kuat ke depannya.”

Rina dan Andi mengangguk setuju, dan Riza hanya tersenyum. Dalam hatinya, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Meski masa-masa SMA mereka berakhir, ikatan mereka tidak akan pernah benar-benar putus.

to be continued

Published:24,Maret,2024

Masa Bintang [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang