(16)-tanda-tanda perpisahan

27 12 0
                                    

HAPPY READING•

***

Hari-hari terus berjalan, dan meskipun situasi di sekolah mulai tenang, Riza merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Hubungan antara dia dan Dani memang membaik, tetapi mereka belum pernah benar-benar berbicara sejak konfrontasi terakhir.

Di sisi lain, Riza mulai merasakan tekanan akademis menjelang ujian akhir. Waktu semakin sempit, dan dia harus segera memutuskan apa yang akan dilakukan setelah lulus SMA.

Pagi itu, suasana kelas terasa lebih sunyi dari biasanya. Riza, yang biasanya fokus pada pelajaran, merasa pikirannya mengembara. Ketika bel tanda istirahat berbunyi, Rina dan Bintang langsung menghampirinya.

“Za, kenapa kau kelihatan nggak seperti biasanya?” tanya Rina sambil menatap Riza penuh kekhawatiran.

Riza menghela napas panjang sebelum menjawab, “Entahlah. Aku cuma lagi mikir soal masa depan. Ujian udah di depan mata, dan aku masih belum tahu mau ke mana setelah ini.”

Bintang, yang biasanya ceria, juga tampak serius kali ini. “Aku juga ngerasain hal yang sama, Za. Kita semua diambang perpisahan, dan mungkin kita nggak akan sering ketemu lagi setelah ini.”

Rina menatap keduanya dengan tatapan murung. “Iya, aku juga mikir soal itu. Meskipun aku udah punya rencana untuk kuliah, tapi tetap aja rasanya aneh kalau harus berpisah sama kalian.”

Mereka bertiga terdiam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Perpisahan yang selama ini tampak jauh, kini mulai terasa nyata. Mereka sadar bahwa waktu bersama tidak akan selamanya.

Saat itu, Andi muncul, bergabung dengan mereka tanpa banyak bicara seperti biasanya. Dia duduk di samping Riza, menatap jauh ke arah luar jendela.

“Aku dengar Dani mungkin nggak lanjut kuliah setelah lulus,” kata Andi tiba-tiba, memecah keheningan.

Riza terkejut mendengar hal itu. Meskipun hubungannya dengan Dani tidak lagi seburuk dulu, dia tidak menyangka bahwa Dani berencana untuk tidak melanjutkan pendidikan.

“Kau yakin?” tanya Riza, matanya menyipit karena penasaran.

Andi mengangguk pelan. “Dia bilang ke beberapa temannya. Sepertinya dia mau fokus ke bisnis keluarga, atau mungkin ada hal lain yang dia pikirkan.”

Mendengar itu, Riza merasa semakin terbebani. Dia merasa perlu berbicara dengan Dani, bukan hanya untuk memastikan kabar itu, tetapi juga untuk menyelesaikan segala sesuatu di antara mereka dengan baik.

Sejak konfrontasi terakhir, mereka tidak pernah punya kesempatan untuk benar-benar berbicara dari hati ke hati.

Sore harinya, setelah sekolah selesai, Riza memberanikan diri mencari Dani. Setelah berkeliling, dia menemukan Dani duduk sendirian di lapangan basket, menatap bola basket di tangannya tanpa ekspresi. Riza ragu sejenak, tetapi akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.

“Dan, boleh aku duduk?” tanya Riza dengan nada hati-hati.

Dani menoleh, terkejut melihat Riza, tetapi tidak menolak. “Terserah. Duduk aja.”

Riza duduk di sebelahnya, suasana hening sejenak. Dani tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berbicara, tetapi Riza tahu bahwa ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi.

“Aku dengar kau nggak mau lanjut kuliah,” kata Riza akhirnya.

Dani mendengus, masih menatap bola basket di tangannya. “Kenapa kau peduli?”

“Aku peduli karena aku masih anggap kau teman, Dan,” jawab Riza jujur. “Meskipun kita punya banyak perbedaan, aku nggak pernah benar-benar ingin kita bermusuhan.”

Dani terdiam lama sebelum akhirnya berbicara. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Za. Semua orang selalu berharap aku jadi orang yang kuat, yang bisa mengendalikan segalanya. Tapi sejujurnya, aku lelah. Selama ini aku hidup untuk membuktikan sesuatu, tapi sekarang aku nggak yakin apa yang sebenarnya aku buktikan.”

Riza mendengarkan dengan penuh perhatian. Ini pertama kalinya Dani membuka diri seperti ini, dan Riza bisa merasakan betapa berat beban yang Dani pikul selama ini.

“Dan, aku juga dulu ngerasa seperti itu. Selalu ngerasa harus jadi orang yang kuat, yang nggak bisa dikalahkan. Tapi akhirnya aku sadar kalau hidup bukan soal membuktikan sesuatu ke orang lain. Hidup itu soal menemukan kedamaian di dalam diri sendiri.”

Dani mengangguk pelan, tetapi masih tampak kebingungan. “Tapi aku nggak tahu harus mulai dari mana. Semua ini terasa terlalu berat.”

“Kau nggak harus langsung menemukan jawabannya sekarang,” jawab Riza dengan lembut.

“Yang penting, kau mulai mencari. Jangan menyerah pada dirimu sendiri, Dan. Kau masih punya waktu untuk menemukan apa yang kau cari.”

Dani terdiam lagi, tetapi kali ini ada perubahan di wajahnya. Meskipun samar, ada kilatan harapan di matanya. Dia melempar bola basket yang dia pegang ke arah lapangan, lalu menatap Riza.

“Terima kasih, Za,” katanya akhirnya. “Mungkin aku butuh waktu untuk meresapi semua ini, tapi aku hargai apa yang kau katakan.”

Riza tersenyum. “Kita semua butuh waktu, Dan. Yang penting, kau nggak sendiri.”

Setelah itu, mereka berdua duduk dalam keheningan, tetapi tidak ada lagi ketegangan di antara mereka.

Meskipun tidak ada kata-kata yang diucapkan, Riza merasa bahwa hubungan mereka telah berubah. Mereka mungkin tidak akan menjadi teman dekat, tetapi setidaknya mereka telah menemukan titik temu.

Saat matahari mulai terbenam, Riza berdiri dan menepuk bahu Dani sebelum pergi. “Jaga dirimu, Dan. Aku yakin kau bisa menemukan jalanmu.”

Dani hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, tetapi Riza tahu bahwa kata-katanya telah meninggalkan kesan.

to be continued
Published:24, Maret,2024

Masa Bintang [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang