(09)-bayangan masa lalu

38 13 0
                                    

HAPPY READING•

***

Hari-hari berlalu dengan lebih tenang. Bintang mulai merasa nyaman dengan rutinitas barunya, bahkan menikmati waktu yang dihabiskannya bersama Rina dan Andi.

Namun, di balik semua itu, Bintang tahu bahwa masalah dengan Riza belum sepenuhnya berakhir. Meskipun Riza tampak menjaga jarak, bayangan ancamannya masih menggantung, terutama saat Bintang mendengar desas-desus di sekolah bahwa Riza sedang merencanakan sesuatu.

Suatu siang, saat Bintang, Rina, dan Andi duduk di kantin, percakapan mereka yang awalnya santai berubah menjadi lebih serius ketika Andi membawa kabar terbaru.

“Ada yang bilang Riza nggak akan menyerah begitu aja. Dia lagi nyari cara buat ‘balas dendam,’” ujar Andi dengan nada khawatir.

Rina mengerutkan kening. “Apa dia nggak punya hal lain yang lebih baik buat dilakukan? Setelah semua yang terjadi, aku pikir dia bakal sadar kalau intimidasi kayak gitu nggak ada gunanya.”

Bintang hanya terdiam. Meskipun sudah beberapa minggu sejak kejadian malam itu, dia masih merasakan ketegangan setiap kali nama Riza disebut. Ia tahu, jika Riza ingin membalas, kali ini mungkin akan lebih serius daripada sebelumnya.

“Aku rasa kita harus lebih hati-hati,” kata Bintang akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Aku nggak mau terjebak dalam masalah ini lagi, tapi kalau dia benar-benar mencoba sesuatu, aku nggak akan tinggal diam.”

Rina dan Andi mengangguk setuju. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa terus-menerus hidup dalam ketakutan, tetapi mereka juga tidak bisa meremehkan Riza.

Hari itu berakhir dengan perasaan tidak nyaman yang masih menggantung. Ketika Bintang berjalan pulang sendirian, dia terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

Pikiran tentang apa yang mungkin dilakukan Riza terus menghantui benaknya. Meskipun dia telah menunjukkan keberaniannya, bayangan dari masa lalu yang penuh intimidasi masih terasa sangat nyata.

Sesampainya di rumah, Bintang mencoba menenangkan diri. Dia duduk di kamarnya, menatap langit-langit sambil merenung. Apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi Riza lagi? Apakah semua keberaniannya akan cukup untuk mengatasi ancaman yang lebih besar ini?

Sore itu, saat Bintang sedang tenggelam dalam pikirannya, suara pintu depan terdengar. Ibunya memanggilnya dari ruang tamu, mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemuinya.

Bintang turun dengan rasa penasaran, dan ketika dia membuka pintu, dia melihat seseorang yang tidak dia sangka akan datang: Riza.

Bintang terdiam sejenak, jantungnya berdetak kencang. Di hadapannya, Riza berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Tidak ada tatapan marah atau ancaman di wajahnya kali ini. Malahan, Riza terlihat sedikit cemas, sesuatu yang Bintang belum pernah lihat sebelumnya.

“Aku bisa ngomong sebentar?” tanya Riza dengan suara yang lebih tenang dari biasanya.

Bintang merasa kebingungan, tetapi dia mengangguk perlahan, memberi isyarat agar Riza masuk ke dalam. Mereka duduk di ruang tamu, suasana di antara mereka terasa canggung dan tegang.

“Aku nggak datang buat berantem,” kata Riza akhirnya, memecah kesunyian. “Aku cuma... aku cuma mau bicara.”

Bintang menatapnya dengan penuh kebingungan.

“Kenapa kamu datang ke sini?”

Riza menghela napas panjang, seolah berusaha meredakan ketegangan dalam dirinya sendiri.

“Aku tahu selama ini aku udah salah. Aku tahu aku udah ngelakuin banyak hal buruk ke kamu. Tapi aku... aku nggak tahu gimana cara berhenti.”

Bintang masih belum yakin harus merespons bagaimana. Riza yang dia kenal selama ini selalu menjadi sosok yang kasar, penuh amarah, dan selalu merasa berkuasa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Riza tampak lebih rapuh, seolah ada sesuatu yang membebaninya.

“Aku pikir kamu nggak peduli soal itu,” jawab Bintang hati-hati.

Riza menunduk, menatap lantai sejenak sebelum berbicara lagi.

“Aku peduli. Aku cuma nggak pernah tahu gimana cara ngungkapinnya. Selama ini, aku merasa harus kuat. Harus menunjukkan kalau aku nggak bisa diganggu, jadi aku... ya, aku jadi kayak gitu. Dan kamu selalu jadi targetku karena kamu nggak pernah lawan balik.”

Bintang mendengar kata-kata itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa marah karena semua yang telah dia lalui. Tetapi di sisi lain, dia juga bisa merasakan ketulusan dalam suara Riza.

“Apa yang kamu inginkan sekarang?” tanya Bintang akhirnya.

Riza mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Aku cuma... aku cuma capek. Aku tahu aku harus berubah, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Dan aku pikir, mungkin, kamu bisa bantu aku.”

Permintaan itu mengejutkan Bintang. Selama ini, dia tidak pernah membayangkan bahwa Riza akan meminta bantuannya, apalagi dalam hal ini. Tetapi melihat Riza dalam kondisi seperti itu membuatnya menyadari sesuatu: di balik segala tindakan kasarnya, Riza juga hanya seorang anak yang mencari cara untuk menghadapi rasa takut dan ketidakpastian dalam hidupnya.

Bintang terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Kalau kamu benar-benar mau berubah, aku bisa bantu. Tapi itu tergantung kamu juga. Kamu harus benar-benar mau berhenti menindas orang lain.”

Riza menatap Bintang dengan mata yang serius.

“Aku mau. Aku capek jadi seperti ini.”

Malam itu menjadi titik balik yang tidak pernah Bintang duga. Percakapan yang terjadi di ruang tamu kecil itu membuka pintu menuju perubahan yang lebih besar—bukan hanya bagi Bintang, tetapi juga bagi Riza. Meski perjalanan mereka masih panjang, malam itu mereka mengambil langkah pertama menuju sesuatu yang lebih baik.

Bintang tidak pernah menyangka bahwa musuh terbesarnya akan datang padanya untuk meminta bantuan.

Tapi malam itu, dia menyadari bahwa setiap orang, bahkan mereka yang paling kasar sekalipun, bisa berubah jika diberi kesempatan.

Dalam perjalanan panjang menuju keberanian dan perdamaian, Bintang kini tahu bahwa kadang-kadang, musuh kita juga sedang mencari cara untuk menyelamatkan diri dari bayang-bayang mereka sendiri.

to be continued
Published:14,maret,2024

Masa Bintang [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang