(56)-Langkah Terakhir

3 4 0
                                    

HAPPY READING•

***

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah alam pun ikut merasakan ketegangan yang sedang melingkupi hidup Riza.

Setelah pertemuan dengan Rendra, ia tahu bahwa langkah selanjutnya adalah menemukan kedamaian dalam dirinya.

Namun, bukan hanya Rendra yang menghantui pikirannya. Ada banyak hal yang belum selesai, dan satu di antaranya adalah hubungan yang selama ini terabaikan—hubungannya dengan ayahnya.

Riza duduk di sudut kamar, memandangi bingkai foto lama yang tergeletak di meja. Di dalam foto itu, tampak dirinya bersama ayah dan ibunya, ketika ia masih kecil.

Riza hampir tidak ingat momen itu, tapi wajah-wajah dalam foto tersebut selalu membuat dadanya terasa sesak. Ia mengingat bagaimana hubungannya dengan ayahnya kian merenggang setelah ibunya meninggal dunia. Sejak itu, ayahnya sibuk dengan pekerjaannya, dan jarak emosional antara mereka semakin lebar.

Kini, setelah sekian tahun berlalu, Riza sadar bahwa ia belum pernah benar-benar berbicara dari hati ke hati dengan ayahnya. Mereka selalu berbicara tentang hal-hal permukaan, tidak pernah menyentuh perasaan yang lebih dalam.

Keputusan untuk memulai percakapan dengan ayahnya terasa berat. Riza tahu ini adalah salah satu langkah terakhir yang perlu diambil sebelum ia bisa benar-benar berdamai dengan dirinya sendiri.

Setelah beberapa kali merencanakan, akhirnya ia memberanikan diri untuk menghubungi ayahnya dan mengatur pertemuan di rumah.

Saat sore tiba, ayahnya tiba lebih awal. Ia datang dengan tampilan yang rapi seperti biasa, mengenakan jas, rambutnya sudah memutih hampir seluruhnya, dan senyumnya tipis namun tetap tegar. Meski sudah tua, sosoknya masih memancarkan wibawa yang pernah Riza kagumi saat kecil.

Mereka duduk di ruang tamu yang terasa dingin dan sunyi. Hanya suara ketukan jam di dinding yang terdengar. Riza menarik napas panjang, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk memulai.

"Ayah," Riza memulai dengan suara bergetar, "Aku ingin kita bicara. Tentang kita."

Ayahnya menatapnya, terlihat sedikit bingung tapi tidak terkejut.

"Tentu saja, Nak. Apa yang ingin kau bicarakan?"

Riza terdiam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Aku merasa kita tidak pernah benar-benar berbicara setelah ibu meninggal. Rasanya seperti ada jarak yang besar di antara kita."

Ayahnya menundukkan kepala, tampak berpikir dalam. "Aku tahu, Riza. Aku tahu aku bukan ayah yang baik setelah kejadian itu. Kehilangan ibumu menghancurkanku, dan aku terlalu larut dalam kesedihan dan pekerjaan untuk mengatasi semua itu. Aku kira, dengan bekerja lebih keras, aku bisa melupakan rasa sakit itu. Tapi aku tidak menyadari bahwa dengan melakukannya, aku juga menjauhkan diriku darimu."

Riza terkejut dengan pengakuan itu. Ayahnya selalu tampak tegar, tidak pernah menunjukkan kelemahan. Mendengar kata-kata itu dari ayahnya membuat Riza menyadari bahwa mereka berdua telah terjebak dalam kesedihan masing-masing selama bertahun-tahun.

"Aku tidak pernah membencimu, Ayah," kata Riza akhirnya, "tapi aku merasa seperti kita menjadi orang asing. Dan aku tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki hubungan kita."

Ayahnya mengangguk perlahan. "Aku mengerti, Nak. Dan aku sangat menyesal. Jika aku bisa mengulang waktu, aku akan menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Tapi sekarang, mungkin sudah terlambat."

"Tidak, Ayah. Belum terlambat," jawab Riza dengan tegas. "Aku masih di sini. Kita masih bisa mencoba."

Ayahnya tersenyum, meskipun ada air mata yang menggenang di matanya. "Kau benar, Nak. Aku juga ingin mencoba. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi."

Percakapan itu, meski singkat, menjadi titik awal bagi Riza dan ayahnya untuk memulai kembali hubungan mereka. Ada banyak hal yang masih perlu diselesaikan, tapi Riza merasa lega telah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat.

Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan percakapan-percakapan kecil antara Riza dan ayahnya. Mereka membicarakan kenangan lama, mimpi-mimpi yang pernah mereka punya, dan harapan-harapan baru yang kini mulai tumbuh. Meskipun tidak semua masalah dapat terselesaikan dengan cepat, Riza merasa bahwa perlahan, luka-luka lama mereka mulai sembuh.

Setelah pertemuan dengan ayahnya, Riza merasa hidupnya semakin seimbang. Beban emosional yang dulu membebani pundaknya mulai terasa lebih ringan. Riza tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tapi ia tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi masa depan.

Di hari yang cerah beberapa minggu kemudian, Riza berdiri di depan makam ibunya. Ia membawa seikat bunga mawar putih, simbol dari cinta dan kerinduannya yang tak pernah pudar. Berdiri di sampingnya adalah ayahnya, yang kini terlihat lebih damai daripada sebelumnya.

"Kita akhirnya melangkah maju, Bu," bisik Riza, menatap nisan yang berkilauan di bawah sinar matahari. "Terima kasih sudah menjaga kami dari jauh."

Ayahnya menepuk pundak Riza, memberikan dukungan yang tidak pernah ia berikan sebelumnya. Bersama-sama, mereka meninggalkan makam itu, melangkah menuju masa depan yang lebih cerah.

to be continued
Published:23, Oktober, 2024

Masa Bintang [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang