(06)-perubahan di udara

42 15 0
                                    

HAPPY READING•

***

Setelah insiden di kelas, suasana di sekolah mulai berubah perlahan-lahan. Bintang merasakan perbedaan yang halus namun nyata. Meski Riza dan gengnya masih sering mengintimidasi, tapi sekarang tidak lagi seintens sebelumnya. Mungkin karena Rina dan Andi yang secara terbuka membela Bintang, para senior mulai ragu untuk melanjutkan penindasan secara terang-terangan. Namun, bayangan ancaman Riza masih menggantung di atas kepala Bintang.

Hari-hari Bintang masih diwarnai ketegangan, tetapi kali ini dia tidak lagi merasa sepenuhnya sendirian. Di kelas, Rina dan Andi mulai lebih sering berinteraksi dengannya, meski tidak terlalu akrab, setidaknya mereka sudah tidak lagi menjadi bagian dari masalah. Mereka duduk bersama Bintang di kantin sesekali, dan meskipun suasana di antara mereka belum sepenuhnya cair, itu adalah langkah maju bagi Bintang.

Namun, satu hal yang Bintang sadari adalah bahwa keberanian tidak datang sekaligus. Setiap kali dia bertemu Riza atau teman-temannya di lorong, rasa takut itu masih ada. Meskipun Rina dan Andi sudah berubah, ancaman yang datang dari Riza dan gengnya tidak hilang begitu saja. Bintang tahu bahwa suatu saat, dia harus menghadapi Riza secara langsung.

Suatu hari, saat jam istirahat hampir selesai, Bintang memutuskan untuk pergi ke lapangan belakang sekolah. Di sana, dia bisa duduk sendirian, menikmati sedikit kedamaian sebelum kembali ke kelas. Dia sedang duduk di bangku kayu di bawah pohon ketika langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Bintang mendongak, dan melihat Riza berdiri di depannya, kali ini tanpa ditemani oleh teman-temannya.

"Hai, Bintang," sapa Riza dengan nada yang dingin. Bintang bisa merasakan ketegangan di udara, meski kali ini hanya ada mereka berdua.

"Kamu masih ngotot buat lawan aku?" tanya Riza sambil menyilangkan tangan di dadanya. Tatapannya tajam, penuh dengan rasa marah yang terpendam.

Bintang merasa jantungnya berdegup kencang, tetapi kali ini dia tidak ingin lari. Sudah terlalu lama dia hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dan meskipun dia tidak tahu apa yang akan terjadi, dia merasa perlu untuk tetap teguh.

"Aku nggak mau lawan siapa pun," jawab Bintang dengan tenang, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Aku cuma mau semua ini berhenti. Kita nggak harus terus saling bermusuhan."

Riza tertawa sinis. "Kamu pikir semuanya bisa selesai gitu aja? Dunia ini nggak seindah itu, Bintang. Kalau kamu lemah, kamu akan diinjak. Itu aturan di sini."

Bintang menatap Riza, mencoba mencari pemahaman di balik mata yang penuh amarah itu. "Aku nggak lemah. Kamu salah kalau pikir karena aku nggak melawan, aku lemah. Aku cuma nggak mau main dengan cara yang sama seperti kamu."

Untuk pertama kalinya, Riza terdiam. Mungkin karena kata-kata Bintang terasa asing baginya. Di dunia yang Riza jalani, kekuatan ditentukan oleh siapa yang bisa memukul paling keras, siapa yang bisa mengintimidasi paling banyak. Tapi sekarang, dia berhadapan dengan seseorang yang menolak bermain dengan aturan itu.

"Kamu masih nggak ngerti, ya?" Riza mendekat, suaranya lebih rendah, penuh ancaman. "Kamu harus takut sama aku."

Bintang merasakan seluruh tubuhnya tegang, tetapi dia tahu bahwa melawan rasa takut ini adalah satu-satunya cara untuk benar-benar keluar dari lingkaran ini. Dia berdiri dari bangkunya, meski tubuhnya masih sedikit gemetar.

"Aku udah takut sama kamu terlalu lama, Riza. Tapi sekarang, aku nggak mau takut lagi. Kamu nggak bisa terus-terusan mengendalikan aku," jawab Bintang dengan suara yang lebih tegas daripada yang dia duga.

Riza tampak terkejut. Dia tidak terbiasa melihat Bintang bersikap seperti ini. Biasanya, Bintang akan menunduk atau berusaha menghindar, tetapi kali ini, dia berdiri tegak, menatap Riza tanpa rasa gentar yang sama seperti dulu.

Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, tetapi sebelum Riza bisa berkata lebih jauh, suara bel tanda masuk kelas berbunyi. Riza mendengus, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun.

Bintang berdiri di tempatnya, merasa napasnya masih memburu. Meski percakapan itu singkat, Bintang tahu bahwa hari ini dia telah mengambil langkah besar. Mungkin ini belum akhir dari semuanya, tetapi untuk pertama kalinya, dia merasa telah benar-benar menghadapi ketakutannya. Riza tidak lagi menjadi bayangan gelap yang selalu menghantuinya-sekarang dia hanya seorang anak sekolah yang juga terjebak dalam lingkaran kekerasan dan intimidasi.

Sekian untuk part-nya

Tetap stay tune untuk membaca bab berikutnya.

To be continued
Dipublikasikan pada:13,Maret, 2024

Sampai berjumpa di bab selanjutnya.
Salam sayang dari ryfal, author MASA BINTANG.

Masa Bintang [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang