14. Promise

72 14 3
                                    

Sangga tidak beranjak dari tempat duduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sangga tidak beranjak dari tempat duduk. Tangannya menggenggam jemari sang ibu yang makin terasa dingin. Kian hari makin kurus dan semalam makin down. Sudah beberapa hari cuci darah ibunya tidak lancar. Untuk itulah sekarang ibunya dirawat lebih intensif.

Wanita paruh baya yang renta itu belum juga sadarkan diri. Tiba-tiba semalam ia drop, sesak napas, dan Sangga tidak beranjak dari tempat. Meski pagi sudah menyingsing, tetapi ia tetak tidak bergerak. Kepalanya boleh terasa berat, tetapi ia tetap berusaha menopang diri.

"Ji, sarapan dulu," kata Anggi yang baru saja tiba.

"Iya, nanti."

"Ya Allah, Ji. Kamu dari semalam ndak bangkit-bangkit. Memangnya ndak sakit punggungmu?"

Sakit, tapi lebih sakit lihat Ibu kayak gini. Ia hanya bisa membatin. Enggan menyuarakan pendapatnya. Pikiran Sangga sedang penuh. Sangat. Entah dari mana lagi Sangga harus mengumpulkan uang. Ia meminjam dari teman-teman di indekos, tetapi sama seperti dirinya, tidak semua memiliki uang yang cukup.

Danny mungkin bisa membantu, tetapi Sangga yang tidak enak hati. Hutangnya pada lelaki itu masih belum lunas semua. Jika harus meminjam ke yang lain, mereka adalah mahasiswa perantau dan biaya hidup di Mataram tidaklah sedikit.  Anggi yang sudah resign gara-gara merawat ibunya pun sibuk menghubungi kenalan. Mbah sampai menyewakan sawah untuk membantu mereka.

Dunia keras sekali. Sangga tidak punya waktu untuk bersedih. Kendati dunia tidak akan lunak segampang itu. Namun, dunia bisa keras dan menyakitkan seenaknya. Persis seperti apa yang dia rasakan.

"Ji, sarapan dulu. Mandi dan ganti bajumu. Biar Ibu, aku yang temani."

"Saya mau di sini aja, menemani Ibu."

Anggi menghela napas karena adiknya yang mendadak keras kepala. Si sulung tidak bisa berkata apa pun lagi. Sedangkan Sangga mulai mengangkat kepala dan memandangi ibunya lamat-lamat.

Kian hari wanita itu makin kurus, bahkan tulang pipinya mulai terlihat. Sangga tidak tahu sudah berapa lama ibunya berbaring di rumah sakit. Jika ia mengingat, entah mengapa serasa menyakitkan. Jika bukan dirinya dan Anggi, lalu siapa yang akan memperjuangkan ibunya?

"Ji, hape kamu bunyi," tegur Anggi, "dari Ala."

Ala? Baru kali itu Sangga merasa tidak minat. Mengingat hari kemarin saat mendengar Ala tengah berada di luar bersama teman-temannya. Namun, yang Sangga dengar justru suara lelaki. Ia tidak mau berpikir buruk, tetapi bukankah tidak ada yang menjamin Ala berkata jujur?

Tiba-tiba saja Sangga memikirkan yang tidak-tidak. Gadisnya mungkin nyaman di Jakarta sana dan bertemu cowok lain? Jalan bareng, bersenang-senang. Sementara di Mataram, ia mati-matian menjaga perasaan Ala.

"Ji?" tegur Anggi, lagi.

"Tolong matikan hape saya, Kak."

"Ini Ala, Ji."

[²] FOOLOVE: CHERISH YOU || JUDYJUN√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang